Abdi Suara Catharina

Catharina bukan sekadar piawai menyanyi, tapi mendidik penuh dedikasi

(Tulisan ini adalah resensi saya atas buku Catharina W. Leimena Menyanyi Indah untuk Negeri yang ditulis Ninok Leksono, Buku Kompas, 2020. Resensi ini sebelumnya telah dimuat di kompas.id pada tanggal 25 Agustus 2021).

Kapal Tristino Oceania membawa Catharina ke Roma. Total 18 hari waktu tempuh di laut itu. Melewati Terusan Suez jam 2 dini hari, hingga akhirnya tiba di Pelabuhan Napoli. Catharina menjemput kenyataan dari mimpi yang diidamkannya sejak remaja: Belajar vokal di Italia.

Dikisahkan di buku ini sebuah momen di dekade 1950-an. Catharina terinspirasi film yang dibintangi Elizabeth Taylor. Film itu menggambarkan situasi belajar vokal di Konservatorium St. Cecilia di Roma. Gayung bersambut di tahun 1959, mimpi dan doa Cathrin terkabul. Prof. Priyono, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, menawarkan Cathrin beasiswa untuk belajar vokal di Italia.

Pengumuman resmi dari Kantor Berita Antara perihal keberangkatannya ke Italia bersama 9 penerima beasiswa lainnya, masih ia simpan rapi dan termuat pula di buku ini. “Itu memang sudah menjadi mimpi saya” (hal. 17, 20). Jadilah ia berlayar ke surga opera itu. Kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pun ia tinggalkan begitu saja.

Sosok yang Beruntung

Cathrin memang sosok beruntung. Ia puteri dari dr. Johannes Leimena, seorang menteri paling jujur di era Soekarno. Namun bukan karena karunia dari langit itu lantas Cathrin moncer begitu saja. Masa-masa awal perjuangan karirnya penuh pergolakan batin, ditambah situasi politik Indonesia 1960-an yang serba berkecamuk.

Setelah 6 tahun belajar dengan banyak maestro di Accademia Nazionale di Santa Cecilia, Roma, dilanjutkan ke Konservatorium Giuseppe Verdi di Milan, 1965 Cathrin lulus. Tahun 1966 Cathrin memutuskan menikah dengan dr. Anton Warsadi Wiriadinata yang sudah cukup lama dikenalnya.

Bisa dikatakan, momentum Cathrin belajar di Italia dan momentum menikah lalu merintis karir di Indonesia, adalah dua fase pertama perjalanan Cathrin sebagai abdi bangsa di dunia menyanyi seriosa dan opera. Cathrin mulai aktif menyanyi di beberapa kota, antara lain Bandung, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta. 1969 mendirikan Sanggar Susvara, yang kemudian berkembang menjadi Susvara Opera Company. Lambat laun fokus dan pilihan dedikasinya adalah di dunia pendidikan.

Cathrin terbukti berhasil melahirkan generasi penyanyi hebat, baik di bidang musik klasik (seriosa, opera), maupun di bidang musik populer. Avip Priatna, Aning Katamsi, Binu Sukaman, Joseph Kristanto, adalah beberapa contoh murid sukses yang tersebut di buku ini. Di skena musik populer, Krisdayanti dan Gita Gutawa adalah dua contoh muridnya yang berhasil. “Ibu Catharina bagi saya adalah maha-guru, bukan sekadar guru,” ujar Krisdayanti.

Bab VI buku ini (hal. 61) menjadi penekanan tersendiri karena isinya bisa diterapkan oleh siapa saja yang ingin menekuni dunia tarik suara. Cathrin menjelaskan soal Tessitura, yang artinya kurang lebih “jangkauan rata-rata sebuah lagu atau suara.” Pesannya kepada penyanyi yang belajar: agar menyadari kemampuan alaminya, “kembali ke alam”, namun juga mengembangkannya semaksimal mungkin, tanpa harus memaksakan batas kemampuan (hal. 64).

Abdi Suara Catharina

Buku 13 bab dengan total 216 halaman yang ditulis Ninok Leksono ini memiliki kekuatan naratif yang sangat baik untuk menjelaskan sosok Cathrin dari berbagai aspek, baik riwayat karir dalam bentangan yang luas, personalitas (sikap dan filosofi hidup), kesaksian tulus keluaga dan para sahabat.

Tak hanya itu, buku ini juga didukung referensi-referensi yang memadai dan kontekstual untuk menjelaskan seluk-beluk opera maupun seni vokal. Tak kurang 8 buku tentang Opera yang dijadikan rujukan oleh Ninok. Dengan demikian buku ini menjadi sangat informatif.

Di dalam buku ini kita juga bisa menyaksikan tak kurang dari 103 gambar-gambar bersejarah yang mempunyai nilai informasi tersendiri dan otentik, mulai dari potret keluarga, pengalaman pentas, poster-poster, dan menarik pula ada sebuah foto ketika Cathrin menari lenso bersama Bung Karno di Roma. Ah, semua itu masih tersimpan dengan baik, dan itu merupakan bukti bahwa Cathrin juga merupakan pengarsip yang baik.

Melewati puluhan tahun eksistensi (lebih dari 70 tahun semenjak aktif menyanyi), dengan berbagai gelombang yang dihadapi Cathrin, bukanlah perkara mudah. 1982, setelah 16 tahun menikah, suami Cathrin meninggal dunia, dan Cathrin harus membesarkan anak-anaknya seorang diri di tengah kesibukan Bandung-Jakarta untuk mengajar. Begitu pun ketika Cathrin terkena tumor dan musti menjalani operasi. Ia percaya mukjizat Tuhan. Ia teguh menjalani. Hadirnya buku ini pun, yang semestinya rilis untuk memperingati 80 tahun Cathrin, terpaksa harus ditunda karena banyak hal. Cathrin sabar menanti, dan akhirnya selesai juga.

Bayangkan saja, pada usia 84 tahun, Cathrin masih lantang berbagi ilmu secara daring di masa pandemi corona ini. Cathrin masih memiliki ingatan dan pendengaran yang teramat baik untuk seorang manusia yang telah melewati perjalanan panjang kehidupan, tidak lagi pahit dan manis, namun aneka rasa. Keluarga terdekat, kolega, murid, semua bangga dan sangat menghormati keteguhan musikal dan hidup seorang Catharina Leimena.   

Prof. Toeti Heraty Roosseno menyebut di buku ini bahwa Cathrin telah mencapai Live Time Achievement. “Ia melewati lebih dari kodrat rata-rata usia orang Indonesia perempuan, yang umumnya hanya mencapai 74 tahun,” ujarnya (hal. 160).

“Jangan berhenti di saya”

“Semoga semua terus bergairah. Jangan berhenti di saya. Semua harus menghasilkan penyanyi-penyanyi untuk masa mendatang,” pesan Cathrin yang tentu secara spesifik ditujukan pada pewaris-pewaris ilmu dan semangatnya membina seni vokal di Indonesia.

Buku ini, alangkah baiknya, juga dibaca oleh penyanyi-penyanyi muda, tidak hanya di lingkup musik klasik, seriosa, atau opera saja, namun juga (calon) penyanyi untuk semua jenis musik. Relevan, menurut saya, di tengah maraknya penyanyi-penyanyi instan zaman digital saat ini—di mana mereka kurang memedulikan teknik bernyanyi, bahkan menisbikan perjuangan kecuali ingin viral dan ingin uang—maka buku ini hadir sebagai penyeimbang yang membawa pesan cerah dan mulia.  Buku ini adalah alarm yang tajam untuk mengingatkan pentingnya martabat seorang penyanyi dijaga sekuat jiwa.

Mengurai Sisi Sainstifik Musik di dalam Ilmu Kontrapung

Buku ini memaparkan dengan lugas dan tangkas apa yang dibutuhkan mahasiswa musik, penata musik, komposer, serta peminat seluk-beluk keterampilan teoretika di dalam penyusunan musik melalui Ilmu Kontrapung. Pembelajaran Ilmu Kontrapung menunjukkan bahwa di dalam musik terdapat elemen-elemen sainstifik yang logis dan sistematik.   

Buku Ilmu Kontrapung rilisan Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta (2021).

Kilas Balik: Sebuah Kenangan

Ketika membaca lembar-lembar awal buku ini, saya jadi teringat pengalaman berharga yang saya alami pada tahun 2004, sekitar 17 tahun yang lalu. Ketika itu saya adalah mahasiswa S1 di ISI Yogyakarta dengan minat Musikologi.  Di dalam kurikulum perkuliahan musikologi, selain kami mempelajari sejarah dan kajian repertoar musik dari berbagai zaman—termasuk praktik musik klasik—kami juga diwajibkan mengambil mata kuliah Ilmu Kontrapung, dan pengampunya adalah Prof. Victor Ganap, salah satu kontributor buku ini.

Layaknya jatuh cinta pada pandangan pertama, mengikuti kuliah Ilmu Kontrapung langsung membuat saya terkesima. Pak Victor adalah dosen yang disiplin serta memiliki kemampuan transfer pengetahuan yang sangat baik. Saya makin tertarik. Saking tertariknya, saya pun mencatat dengan cermat dan detail setiap materi yang disampaikan oleh beliau (catatan tersebut masih saya simpan sampai sekarang). Sebagian dari isi buku ini juga merupakan materi yang disampaikan Pak Viktor waktu itu. 

Tapi saya menyesal, ketika berkuliah di ISI Yogyakarta, saya belum pernah merasakan pengalaman diampu oleh Romo Prier. Beliau sudah tidak mengajar lagi di sana. Namun saya tidak pernah kelewatan untuk mengoleksi karya-karya ilmiah yang ditulis Romo Prier. Saya hanya membayangkan, jika saya dipertemukan dengan Romo Prier waktu itu, mungkin pengetahuan saya tentang musik akan menjadi lebih lengkap, karena beliau—yang juga menjadi kontributor buku ini—adalah salah satu sosok idola yang berwawasan luas, berdedikasi tinggi, dan konsisten terhadap perkembangan ilmu pengetahuan musik, baik dalam konteks Gereja Katolik maupun di lingkungan akademik dan masyarakat.

Mengapa pengalaman 17 tahun silam tersebut begitu berharga bagi saya? Karena pada saat itulah pertama kalinya saya mengenal musik sebagai sebuah sains (ilmu pengetahuan yang logis dan sistematik, layaknya mempelajari matematika sebagai ilmu pasti), bukan hanya ekspresi seni yang subjektif saja.

Hubungan matematika dan musik memang sudah berlangsung sejak masa Yunani Kuno. Di dalam buku A Geometry of Music: Harmony and Counterpoint in The Extended Common Practice (Dmitri Tymoczko, 2011) disebutkan, bahwa di dalam rentang berbagai fase sejarah musik sejak dulu hingga kini, musik tidak bisa kita lepaskan dari matematika atau unsur-unsur yang logis (terdapat rumus-rumus yang absolut, dan unsur-unsur yang terukur, bahkan pasti), namun—tentu saja—fleksibel dalam ekspresi, untuk tetap mengikat musik sebagai sebuah seni. Apa yang kita mainkan hari ini—menurut buku tersebut—telah terjadi ratusan bahkan ribuan tahun silam, kita terus mengulang, memaknai kembali, namun dalam konteks maupun interpretasi yang terus berubah dan berkembang. Semua itu karena kita juga mewarisi kebudayaan musik sebagai sebuah fakta maupun ilmu yang dinamis.

Di dalam Ilmu Kontrapung ada peraturan-peraturan tertentu yang serba ketat dan kemungkinan bisa menghambat kebebasan berekspresi secara natural. Ilmu Kontrapung menuntut kita untuk disiplin, namun kita harus ingat pula bahwa di dalam ekspresi musik selalu ada tarik-ulur antara unsur-unsur intuitif maupun rasional, di mana keduanya selalu menantang dan menarik untuk diposisikan secara seimbang atau saling melengkapi.  

Tentang Buku ini

Buku ini terdiri dari tiga bagian besar, yaitu Ilmu Kontrapung Tonal (hal. 7-44), Ilmu Kontrapung Modal (hal. 45-114), dan Teknik Kontrapung Paul Widyawan (hal. 86-121). Bagian pertama ditulis oleh Victor Ganap, lalu bagian kedua dan ketiga ditulis oleh Romo Prier. Bagian pertama dan kedua mengetengahkan informasi (pelajaran berikut latihan) Ilmu Kontrapung sebagai salah satu disiplin teoretikal musik yang fungsional untuk keperluan penyusunan musik (baik aransemen maupun komposisi), dan bagian ketiga lebih memaparkan analisis atas teknik kontrapung yang dipakai Paul Widyawan.

Dijabarkan di buku ini dua pengertian mendasar tentang apa itu kontrapung: (1) Teknik komposisi musik polifon, di mana suatu lagu pokok (cantus firmus) dilengkapi dengan satu atau beberapa lagu yang secara melodis dan ritmis berdiri secara mandiri, namun tetap cocok satu dengan yang lain, hingga semua suara bersama-sama membentuk suatu komposisi; (2) Kontrapung adalah istilah “lagu pelengkap” untuk sebuah melodi yang sudah ada (disebut juga cantus firmus) dan disusun menurut peraturan-peraturan ilmu Kontrapung (hal. 45).  

Menurut sejarahnya, Kontrapung dalam Modus Gereja dipopulerkan oleh Giovanni Pierluigi da Palestrina (1525-1594) dari Italia pada periode Renaisans (Abad Ke-16), sedangkan kontrapung untuk instrumental diciptakan oleh Johann Sebastian Bach (1685-1750) dari Jerman, pada periode Barok (Abad ke-17). Kedua jenis kontrapung merupakan musik gaya Polifonik, di mana Kontrapung vokal menggunakan tangganada Gereja, sedangkan Kontrapung instrumental menggunakan tangganada Diatonik. Aabila Palestrina berhasil menciptakan Missa Papae Marcelli yang Eklesiatik sehingga Gereja Katolik Roma mengadaptasi musik Polifonik selain Monofonik, maka penemuan Bach telah melahirkan sistem diatonik yang terdiri dari 24 Tonal Mayor (12# + 12b) dan 24 Tonal Minor (12# + 12b) yang bisa kita dengar melalui 48 Prelude-Fugue dalam Das Wohltemperirte Clavier (hal. 7-8).

Pada bagian pertama buku ini diketengahkan materi pembelajaran yang berisi teknik-teknik kontrapung tonal, yaitu bagaimana menyusun Struktur Melodi Satu Berbanding Satu, Satu Berbanding Dua, Satu Berbanding Empat, serta dilengkapi penjelasan mengenai Komposisi Melodi Polifonik dan Komposisi Musik Polifonik dengan contoh karya Invention dari Ichiro Mononobe.

Bagian kedua terasa lebih luas namun berfokus pada penjelasan mengenai Ilmu Kontrapung Modal. Pada bagian kedua ini, di antaranya, diketengahkan mengenai Sistem Nada Musik Abad Pertengahan, Jenis-Jenis Interval Abad Pertengahan, Tangga Nada Modal/Gregorian, Lagu-Lagu Modal Barat, Sejarah Ilmu Kontrapung (hal. 45-50), diikuti dengan teknik menyusun kontrapung dalam dua suara (hal. 54-69) dengan contoh-contoh implementatif yang bisa langsung dipraktikkan.

Menarik sekali menyimak sub-bagian buku ini yang berjudul Penerapan Peraturan-Peraturan Ilmu Kontrapung pada Lagu Tradisional Indonesia (hal. 70), dan Cara Menangani Lirik dalam Kontrapung (hal. 101), disisipi pula di bagian ketiga analisis teknik kontrapung Paul Widyawan yang menjadi wawasan tersendiri. Beberapa sub-bagian tersebut membuka pengetahuan baru terkait aplikasi Ilmu Kontrapung yang lebih kontekstual dan terbuka, karena umumnya Ilmu Kontrapung bersumber dari sistematika musik Barat, dan lebih sering dipakai untuk menyusun musik-musik instrumental.  

Disiplin Ilmu Kontrapung memang sangat terikat dengan penguasaan atas keterampilan membaca dan menulis dalam notasi balok. Sebab itu memang dibutuhkan kemampuan tersebut terlebih dahulu sebelum mempelajari tiap materinya. Tidak mengherankan pula bahwa buku ini lebih banyak berisi contoh-contoh pelajaran yang diketengahkan ke dalam notasi balok, dengan didukung sedikit narasi (teks) demi memberi informasi dan memudahkan pemahaman.

Penutup

Kedua penulis buku ini, baik Victor Ganap maupun Romo Prier, adalah sosok yang tidak diragukan lagi keahliannya dalam disiplin Ilmu Kontrapung. Buku ini tentu saja sangat penting untuk memberi pemahaman mendasar namun komprehensif mengenai Ilmu Kontrapung khususnya yang berkembang pada kurun modus Gereja Katolik, Renaisans, dan Barok, dilengkapi juga teknik penyusunan kontrapung pentatonik yang merupakan khazanah tersendiri. Kiranya ke depan perlu ada juga buku-buku lanjutan yang mengetengahkan Ilmu Kontrapung Modern hingga pada perkembangan terkini.

Resensi ini telah dimuat di Majalah Warta Musik Edisi Juni 2021.

Sarasehan Bareng Tim Lomba Inovasi Musik Nusantara (Linmtara) 2021

23 Juni 2021 saya ikut bergabung sebagai salah satu narasumber di sarasehan online bersama tim dari LINMTARA (Lomba Inovasi Musik Nusantara). Lomba tersebut adalah ajang kreativitas yang diperuntukkan bagi siapa saja yang tertarik dan ingin berkompetisi dengan mengusung garapan-garapan musik yang bersumber dari tradisi musik Nusantara yang kaya.

Info lengkap mengenai lomba klik di sini.

Tahun Produktif Rilisan Album Gitar Klasik-Akustik (2018-2020)

Mari sejenak kita meluangkan waktu untuk mengapresiasi karya-karya musik terkini di dunia pergitaran Indonesia, lebih tepatnya pergitaran instrumentalia jenis klasik dan akustik.

Dua istilah itu, (gitar) klasik dan (gitar) akustik, sebetulnya mempunyai pengertian yang agak saling-tubruk. Tapi gampangnya begini saja: gitar klasik untuk menyebut gitar yang bersenar nilon, dan gitar akustik adalah sebutan untuk gitar bersenar baja/kawat. Keduanya memiliki kesamaan, bisa berbunyi tanpa tenaga listrik dan punya area resonansi yang menjadi muara dari sumber bunyi yang dihasilkan oleh dawai yang disenggol atau badan gitar yang dipukul.

Cukup menggembirakan, karena sepanjang 2018 hingga 2020 tiap tahun nongol satu album yang mengetengahkan karya-karya instrumentalia untuk gitar solo dan ansambel. Kebetulan semua album itu mbrojol di Yogyakarta, meskipun gitarisnya berasal dari berbagai penjuru negeri.

Yang pertama adalah Album Kompilasi Volume 1 dari Kolektif Gitar Klasik Indonesia (Indonesian Classical Guitar Collective). Album ini dirilis pada 2008 dengan ditandai potong tumpeng dan doa di Ethnictro Music Education, Jogja. Isinya adalah rekaman-rekaman dari beberapa ansambel dan gitaris solo. Mereka adalah: Nocturnal Guitar Quartet, Duo Anantara, Duo Rocky, Nabita Guitar Duo, 9PM Guitar Duo, Ahmad Fauzi Ihsan, Putu Lia Veranika, dan Fauzi Akmal Rabbani. Umumnya mereka memainkan karya-karya lama dari berbagai komponis luar Indonesia, dan hanya satu karya dari komponis Indonesia.

Dengarkan album dari ICGC di sini.

**

Yang kedua adalah album GATRA, Nocturnal Guitar Quartet. Album yang dirilis pada akhir tahun 2019 ini sangat spesifik, karena secara khusus menampilkan karya-karya komponis dari Indonesia yang diminta menulis untuk karya dengan format kwartet, atau empat gitar. Kwartet yang digawangi oleh Vaizal Andrians, Gita Puspita Asri, Roby Handoyo, dan Adi Suprayogi ini pertama kali merilis album setelah lima tahun kiprah mereka. Tercatat NGQ menjuarai beberapa kompetisi ansambel gitar, antara lain di Italia, Jepang, dan Malaysia. Prestasi tersebut sangat membanggakan dan memberikan inspirasi tersendiri bagi rekan-rekan yang menggeluti ansambel gitar klasik.

Dengarkan album dari Nocturnal Guitar Quartet di sini.

Ulasan album GATRA bisa dibaca di sini.

Yang ketiga adalah album dari kolektif gitar fingerstyle (Indonesian Fingerstyle Guitar Community) yang rilis pada 17 Agustus 2020, persis di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Album ini mengusung ide—yang sekaligus dijadikan nama album—WE CREATED, NOT COPY PASTE. Memberi pesan kepada gitaris fingerstyle di seantero Indonesia agar mulai berani mengarang karya sendiri, bukan “ngover-ngover” atau copy-paste.

Album dari IFGC ini tidak didistribusikan secara digital, namun dijual fisik dalam konsep bundle dengan produk lainnya. Jadi silakan mengapresiasinya dengan menghubungi narahubung (klik di sini).

Selamat untuk semuanya!

ZIARAH MUSIKAL KE MAKAM SUKA HARDJANA

Di makam Pak Suka, Triyagan, Karanganyar, Jawa Tengah.

Minggu, 16 Agustus 2020, telepon berbunyi, Bu Suka mengirim kabar, lebih tepatnya mengajak saya untuk ikut tabur bunga ke makam Pak Suka pada esok hari. Tanpa pikir panjang, ajakan itu saya terima begitu saja.

Senin, 17 Agustus pagi kami bertemu di Solo. Turut hadir pula sebagian keluarga Pak Suka yang datang dari Jogja, sekitar belasan orang. Serombongan tiga mobil kami berangkat, dari Solo ke Triyagan, Karanganyar. Saya satu mobil dengan Bu Suka dan Mbak Jum, asisten pribadi ibu. O, ya, sebelum berangkat kami dijamu gule kambing dan opor ayam, lengkap dengan lauk pauk yang lezat.

“Hari ini 82 tahun, Mas. Pasti bapak senang, dikunjungi kita semua,” kata Bu Suka lirih.

17 Agustus memang merupakan hari lahir Pak Suka, sosok yang banyak dikenal sebagai penulis dan inspirator, khususnya di dunia musik. Seluruh hidup Pak Suka memang telah terbukti didedikasikan untuk pertumbuhan musik dan pengetahuan melalui buku-buku yang ditulisnya, penyelenggaraan pementasan musik klasik-kontemporer yang diadakannya, diskusi dan ceramah, hingga menjadi pembimbing untuk berbagai penelitian musik.

Melalui Pak Suka saya banyak sekali belajar bagaimana menulis dengan retorika yang baik, bagaimana  menulis agar mudah dipahami masyarakat luas. Dan saya selalu senang karena terus disemangati agar tetap menulis. Mengenal Pak Suka secara personal adalah rahmat tersendiri yang saya nikmati, syukuri, agar menjadi amal kepada siapa saja. Persis seperti anjuran Pak Suka suatu ketika kepada saya di sebuah SMS:

“Mas Erie, saya telah membaca buku-buku Anda. Terimakasih atas kirimannya. Paket Anda hampir rusak karena pak pos melemparnya sembarangan dari luar pagar! Itu tabiat yang tidak pantas ditiru. Untungnya saya bergegas menyelamatkannya. Mas Erie, pertama-tama saya senang, Anda mau menulis dan turut menerbitkan buku-buku. Setidaknya Anda membukakan pikiran masyarakat kepada hal-hal yang belum tentu mereka pikirkan, tentu saja selamat atas terbitnya buku Anda. Hanya satu catatan untuk Anda: tetaplah menulis, hanya itulah satu-satunya cara untuk membuka cakrawala bahwa dunia musik tidak hanya yang serba glamor dan hiburan! Kalau ke Jakarta jangan lupa beritahu saya, silakan menginap di rumah saya sepuasnya. Shaloom, Suka Hardjana.”

**

Setelah 30 menit perjalanan, kami akhirnya tiba di makam, dipayungi terik matahari yang cukup menyengat, tepat di tengah hari. Bu Suka memimpin doa. Kami berada dalam suasana khusyu’ sekian menit, lalu kami menabur bunga, bergantian.  

“Ini adik-adikmu datang, banyak sedulur-sedulurmu, ada Mas Erie juga,” bisik Bu Suka di depan nisan putih yang bersih.

Hari Merdeka kali ini memang terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, karena biasanya saya cuma main musik mengisi hiburan di acara tirakatan kampung. Kali ini diberi kesempatan dan renungan untuk berziarah ke makam “seorang pahlawan.” Benar-benar tidak berlebihan saya mengatakan itu untuk Pak Suka. Pahlawan, sebuah kata yang diserap dari Bahasa Sansekerta phala-wan, artinya adalah orang yang menghasilkan buah berkualitas bagi bangsa.

“Pak Suka, saya pamit dulu.”

Triyagan, Karanganyar, 17 Agustus 2020.

Tulisan saya lainnya tentang Pak Suka, yang menyuguhkan informasi lebih komplit, silakan klik: Di Tangah Suka Hardjana Musik Menjelma Ilmu Pengetahuan

Sejam Bergizi di Podcast See n See

Sebuah kehormatan bisa ngobrol asik dan mengalir di video podcast See N See Guitar. Kami ngobrol soal yang terjadi di dunia per-gitar-an Indonesia saat ini (entah klasik, fingerstyle, dan lain-lain), luthier (pembuat gitar), album-album yang muncul, tantangan gitaris-gitaris pemula, hubungan musik dan pengetahuannya, dan bla-bla-bla. Pokoknya semua menyemangati. Terimakasih Cornel, Tia, Reza, dan Agi.

Silakan menyimak pada tautan ini.