Mengisi Webinar “Cinta Musik Keroncong”

Pada 9 Desember 2021, saya diminta mengisi webinar yang diselenggarakan oleh Prodi Sendratasik Universitas Negeri Semarang (UNNES). Tidak sendiri, saya ditemani sahabat saya Mas Ibnu Amar Muchsin.

Dalam webinar tersebut saya diminta memaparkan seputar pengetahuan teknik bermain alat musik keroncong. Tema ini cukup menantang dan mengingatkan saya pada puluhan tahun silam ketika saya pertama kali belajar memainkan ukulele/kencrung, dan kemudian mendalaminya. Di dalam musik keroncong, kita memang bisa mempelajari teknik-teknik yang terdapat di setiap instrumen, tak terkecuali teknik vokal keroncong yang terbilang khas.

Saya memberi judul presentasi saya: “Sekilas Teknik Permainan Musik Keroncong dan Fakta Pertumbuhan Apresiatif Musik Keroncong di Masa Kini”. Saya menyelidiki beberapa hal: (1) Apa yang mempengaruhi adanya teknik-teknik permainan yang berkembang di dalam musik keroncong?; (2) Sejauh apa teknik-teknik tersebut dipahami oleh setiap penabuh/penyanyi keroncong?; (3) Apa ciri-ciri informasi yang spesifik dari teknik permainan alat musik keroncong ini?

Dari beberapa pertanyaan umum tersebut saya menyimpulkan, bahwa: (1) Yang mempengaruhi adanya teknik-teknik yang berkembang di dalam musik keroncong antara lain adanya perlombaan/kompetisi yang memicu setiap pemain/penyanyi untuk memberikan yang terbaik, adanya klaim-klaim personal dari seniman/praktisi keroncong di mana pada akhirnya klaim tersebut menjadi legitimasi bagi kelompok maupun lingkungan di sekitarnya, lalu munculnya teknik juga dipengaruhi oleh adanya rekaman-rekaman musik yang menuntut setiap pemain untuk bermain/menyanyi dengan baik, karena rekaman akan dipublikasikan untuk selamanya; (2) Teknik di dalam musik keroncong dipahami oleh seniman keroncong dalam dua kerangka besar, yaitu pertama: Teknik Individu (tiap instrumen/vokal), dan Teknik di dalam Ansambel. Berdasarkan asumsi bahwa seterampil apapun setiap pemain memainkan alat musik, namun apabila ia tidak bisa menyesuaikan dengan pemain lain untuk mencipta keharmonisan, maka hasil musik yang dimainkan akan sia-sia, mengingat alat musik keroncong bukanlah instrumen solo. Para seniman mengasah keterampilan teknis bermain alat musik keroncong umumnya belajar secara otodidak/informal, karena belum ada satu pun kursus yang mengacu pada panduan standar seperti halnya dalam Musik Barat atau beberapa di Karawitan; (3) Ciri-ciri informasi spesifik dari teknik permainan alat musik keroncong adalah, bahwa teknik tersebut merupakan Pengetahuan Emik, jadi sifatnya sangat lokal (misalnya menggunakan istilah-istilah khusus yang dipahami oleh masyarakat tersebut, contoh: kentur, sintiran, ngglali dihapami oleh masyarakat Solo sebagai istilah yang menunjukkan jenis-jenis teknik). Di kota/tempat lain juga memiliki “penamaan istilah” yang berbeda-beda.

Silakan unduh materi PDF saya di sini.

Terimakasih, sampai jumpa kembali di forum-forum berikutnya.

Memberi Kuliah Kritik Musik di Prodi Karawitan, ISI Denpasar

Pada 9 dan 10 Juli 2021 yang lalu, saya diminta mengisi mata kuliah Kritik Musik untuk mahasiswa-mahasiswi Prodi Karawitan, Institut Seni Indonesia, Denpasar. Saya bisa hadir di dalam perkuliahan daring ini atas rekomendasi yang diberikan sahabat saya, I Wayan Diana (Terimakasih banyak!).

Kuliah ini merupakan bagian dari Program Merdeka Belajar yang dicanangkan Pemerintah melalui Kemdikbudristek. Hadir di dalam kuliah ini, selain mahasiswa, juga Bapak I Wayan Rai yang pernah menjabat sebagai Rektor ISI Denpasar, Bapak I Nyoman Kariasa, Bapak I Kadek Suartaya, Bapak I Wayan Sudirana, Bapak Saptono, dan beberapa dosen ISI Denpasar lainnya.

Kami banyak berbagi cerita seputar pengalaman menulis, apresiasi musik, kultur membaca, dan pengalaman-pengalaman spesifik seputar kritik musik. Diakui bersama bahwa aktivitas menulis, membaca, berdiskusi, memang sederet aktivitas yang tergolong “langka” dan kurang digemari. Mahasiswa memang menulis, membaca, dan berdiskusi, namun itu kebanyakan hanya demi kepentingan perkuliahan, seperti menyelesaikan tugas-tugas, dan bukan sebagai aktivitas yang tumbuh sebagai habit, melengkapi aktivitas praktik atau berpentas. Kelangkaan tersebut sebetulnya justru menjadi peluang yang menarik. Menjadi penabuh sekaligus penulis, why not? Menjadi komposer yang punya tulisan keren dan inspiratif, why not juga?

Sebelum melakukan aktivitas “kritik musik” dalam pengertiannya yang ideal (bukan caci maki atau hujatan, tapi apresiatif dan informatif!), kita selayaknya musti membangun habit menulis terlebih dulu secara intensif. Istilah saya, kita belajar BERSETUBUH DENGAN BAHASA, kita belajar MEMBANGUN HUBUNGAN EMOSIONAL DENGAN BAHASA.

Sejauh pengalaman saya, menulis itu memang bukan soal mudah. Apakah menabuh lebih mudah? Mungkin bisa dikatakan begitu dalam beberapa fakta.

Sebagai contoh: Ketika waktu SMA dulu saya diwajibkan belajar gamelan Jawa selama 2 semester (di SMK N 8 Solo), namun sebelumnya saya buta gamelan, karena latar saya adalah pemain band. Ketika guru saya menginstruksikan pada saya untuk menabuh saron, dengan panduan notasi yang sederhana, seketika itu juga saya langsung bisa. Artinya: bunyi, ritme, dan nadanya benar. Meskipun belum tentu bagus. Pengecualian memang untuk bisa bermain kendang, rebab, gender, bonang, gambang, yang memang perlu teknik-teknik khusus yang lebih detail dan memakan waktu lebih lama.

Akan tetapi menulis, tak “semudah” bermain saron itu, karena bukan semata aktivitas yang bisa dilakukan hanya dengan “menirukan contoh dari guru”, melainkan, menulis perlu melibatkan kerja pikiran dengan sistem-sistem yang lebih kompleks, misalnya menuntut imajinasi, ide, data, referensi, detail, perspektif, dan lain sebagainya. Dan semua itu, tidak bisa seketika seperti pengalaman saya menabuh saron.

Contoh serupa ketika saya belajar gitar genjrang-genjreng. Satu bulan belajar intensif langsung bisa mengiringi orang bernyanyi dan berani pentas. Satu bulan belajar menulis intensif? Belum tentu kita menghasilkan tulisan yang bagus, atau setidaknya informatif dan menarik dibaca. Begitulah. Dengan tidak mengatakan bahwa bisa menabuh saron atau gitar itu merupakan kerja “instan”, namun menabuh saron dan gitar itu memiliki struktur kerja syaraf yang lebih sederhana ketimbang menulis.

Untuk bisa menghasilkan tulisan (kritik) yang menarik, kadang-kadang saya perlu berpikir sebulan lamanya, hanya untuk berpikir saja, berpikir dalam berbagai kemungkinan eksplorasi (dengan membaca, berdiskusi, berimajinasi, merenung, memikirkan dampaknya, dan lain-lain). Itulah kira-kira yang saya sebut di dalam perkuliahan ini sebagai aktivitas PRA-KRITIK, yaitu segala piranti yang perlu kita persiapkan terlebih dahulu sebelum memulai aktivitas KRITIK. Sesudah menulis, kita juga masih dihadapkan dengan aktivitas PASCA-KRITIK, yaitu “menguji” sejauh apa yang kita tulis berkembang menjadi dialektika dan bahkan berhasil menjadi manfaat-manfaat yang nyata. Tiga tahapan tersebut tidaklah mudah.

Saya juga kurang tahu, apakah aktivitas KRITIK MUSIK masih diperlukan untuk saat ini dan di masa mendatang?

Sarasehan Bareng Tim Lomba Inovasi Musik Nusantara (Linmtara) 2021

23 Juni 2021 saya ikut bergabung sebagai salah satu narasumber di sarasehan online bersama tim dari LINMTARA (Lomba Inovasi Musik Nusantara). Lomba tersebut adalah ajang kreativitas yang diperuntukkan bagi siapa saja yang tertarik dan ingin berkompetisi dengan mengusung garapan-garapan musik yang bersumber dari tradisi musik Nusantara yang kaya.

Info lengkap mengenai lomba klik di sini.

Sejam Bergizi di Podcast See n See

Sebuah kehormatan bisa ngobrol asik dan mengalir di video podcast See N See Guitar. Kami ngobrol soal yang terjadi di dunia per-gitar-an Indonesia saat ini (entah klasik, fingerstyle, dan lain-lain), luthier (pembuat gitar), album-album yang muncul, tantangan gitaris-gitaris pemula, hubungan musik dan pengetahuannya, dan bla-bla-bla. Pokoknya semua menyemangati. Terimakasih Cornel, Tia, Reza, dan Agi.

Silakan menyimak pada tautan ini.

Bedah Buku “Renungan Perihal Musik” Karya Sumasno Hadi

15 Juni 2020 diajak oleh rekan saya, Sumasno Hadi, seorang penulis, dosen, peneliti di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, untuk membahas buku terbarunya: Renungan Perihal Musik. Ada dua pembahas, satu lagi adalah Novyandi Saputra, salah satu penggiat seni di Banjar. Dipandu oleh Puja Mandela dari apahabar.com.

Forum daring ini diikuti oleh 50-an peserta dari berbagai kota, bahkan ada juga Ibu Jody Diamond, yang bergabung langsung dari New York. Turut hadir pula Pak Aton Rustandi Mulyana dari ISI Solo, Palmer Keen, Putu Septa, dan kawan-kawan lain.

Pembicaraan yang pada mulanya menguliti isi buku dari beragam perspektif, akhirnya meluas membicarakan, salah satunya, soal kritik musik dan ekosistem seni, khususnya di Kalimantan Selatan.

Selamat untuk Mas Masno atas peluncuran buku terbarunya. Semoga makin jos untuk terus mewarnai pertumbuhan literasi di Kalimantan Selatan.

Untuk mendapatkan buku karya Sumasno Hadi silakan langsung menghubungi penulisnya di Facebook: Sumasno Hadi. Dan untuk menyimak secuil liputannya silakan klik di sini.

Kelas Isolasi #61 – Musikalingua

Dalam seminggu terakhir saya diminta mengisi 3 X sesi webinar/diskusi daring tentang musik, salah satunya memberi materi untuk Kelas Isolasi yang diasuh Pak Syarif Maulana dan kawan-kawan. Materi di sesi Kelas Isolasi adalah seputar mem-bahasa-kan musik, atau bagaimana menerjemahkan musik ke dalam bahasa, baik lisan/tertulis. Upaya ini tentu saja akan melengkapi pemaknaan kita terhadap musik, mempertajam manfaat/fungsi musik untuk kehidupan kita, lebih dari sekadar kesan, misalnya mendengar lalu bilang: “bagus, jelek, biasa saja, istimewa, keren, fantastis, asoy, anjir bagus banget, dan seterusnya”-dimana semua itu terasa hanya sebagai impresi spontan saja, dan mungkin juga mengakibatkan multi-tafir. Saya percaya ada banyak kemungkinan untuk diperdetail/dikembangkan selain hanya “berkesan.”

6 Kunci yang saya bagi ini adalah 1 slide dari 20an slide materi yang saya buat, menjadi rangkuman sederhana untuk memasuki alam MUSIKALINGUA, yaitu kaitan yang tak pernah terputus antara musik dan bahasa.Musik mempengaruhi impresi, bahasa menjelaskannya.