Beberapa Indikasi Singkat Bahwa Musik Keroncong Memang Punya Potensi (Besar) untuk Menjadi Sumber Ilmu Pengetahuan

Di luar yang serba hiburan dan tren matra digital hari ini, musik keroncong masih punya potensi yang bweeeeeesar banget untuk digali pengetahuannya, entah itu terkait sejarah (tokoh, penyanyi, momen-momen penting), juga terkait pengetahuan seputar teknik bermain/bernyanyi, aransemen, garap komposisi, tata suara dan rekaman, artistik, organologi (acoustic, instrument craftsmanship), medan-medan digitalisasi dan penyebaran baru, manajemen event, hingga riset-riset mendalam yang berhubungan dengan proses kreatif para seniman (misalnya: bagaimana mengarang lagu yang “bermutu”, membangun komunitas di sebuah kota yang minim pendukung, metode ngajari anak-anak dan remaja kroncongan di komunitas dan sekolah, dan seterusnya).

Belum lagi uraian soal bagaimana Pemerintah turut serta bekerjasama mendukung musik keroncong—bukan semata demi eksistensi para seniman untuk pentas di panggung (yang cuma sesaat!) —melainkan bagaimana mempertajam musik keroncong sebagai nilai kebudayaan yang sangat berharga (selamanya) bagi Indonesia; juga bagaimana Pemerintah dan masyarakat sama-sama membangun pola kompetitif-sinergis yang berpotensi untuk mendukung stabilitas kesejahteraan di lingkup ekosistem musik keroncong. Kata “stabilitas kesejahteraan” menurut saya perlu digaris-bawahi sebagai pilihan diplomatis yang lebih lentur, ketimbang kata “peningkatan kesejahteraan” yang terasa masih klise.   

Tentu saja kita bersyukur atas jasa—salah satunya—Budiman BJ, yang mau secara sukarela menuliskan catatan sejarah, pengalaman, serta biografi singkat para tokoh keroncong melalui bukunya yang legendaris: Mengenal Keroncong dari Dekat (1979). Dari situ kita bisa mengetahui bahwa ada satu momen penting di mana pertama-kalinya kelompok-kelompok keroncong dari seluruh provinsi di Indonesia (kecuali Papua dan Irian Barat), berkumpul untuk berkompetisi. Itu bisa terwujud karena kolaborasi HAMKRI dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dewan Kesenian. Bukan kompetisinya yang penting, tetapi fakta itu menunjukkan bahwa musik keroncong sudah sejak cukup lama menyebar di berbagai penjuru Indonesia, lalu mereka (bisa) kumpul sama-sama di satu tempat.

Tak kurang dari 100 penelitian mengenai musik keroncong juga telah dilakukan, baik jurnal, skripsi, tesis master, hingga disertasi doktoral (dengan beragam topik dan sebaran wilayah penelitian). Fakta itu tentu saja menunjukkan bahwa musik keroncong memang diminati sebagai sumber ilmu pengetahuan.

Semua penelitian tersebut melengkapi apa yang telah ditulis sebelumnya oleh banyak peneliti lainnya (baik dari Indonesia maupun luar Indonesia) semenjak awal abad ke-20 hingga saat ini (sebut saja buku/tulisan-tulisan dari Manusama, Kusbini, Judith Becker, Philip Yampolsky, Harmunah, Haryadi Suadi, Victor Ganap, Triyono Bramantyo, Remy Sylado, Agoes Sriwidjadjadi, dan seterusnya).

Dengan demikian kita harus bangga bahwa semua itu adalah prestasi di bidang kebudayaan! Tak berlebihan juga rasanya jika keroncong itu disebut sebagai “peradaban” dengan kadar tertentu, tidak hanya sebuah genre atau bentuk musik. Musik keroncong adalah musik popular yang mampu teruji dalam kontinuitas produksi ilmu pengetahuannya; mengingat dalam 100 tahun terakhir perjalanan musik keroncong di Tanah Air—selain sebagai hiburan, juga tumbuh sebagai ilmu pengetahuan. Tanpa ilmu pengetahuan (dalam arti luas) yang terus dihidupi para seniman dan ekosistemnya, mustahil musik keroncong bertahan dan berkembang!

Sebagai penutup dari tulisan singkat ini saya ingin cerita dikit: Pada tahun 2008 silam saya pernah menulis untuk Majalah Seni Budaya “Gong”, meliput sebuah pentas keroncong dengan tajuk International Keroncong Festival yang diselenggarakan di kompleks Keraton Surakarta. Tulisan tersebut saya beri judul: BELAJAR OPTIMIS BERSAMA KERONCONG. Pengalaman menulis pentas itu sangat berkesan dan masih terus terngiang sampai hari ini, ya memang itu, yang kita butuhkan cuma itu: OPTIMIS! Bukan gosip-gosip yang (…………), isi saja sendiri…wkwk…hehehe…

ARSIP DJADUK DAN ARSIP KITA

(Catatan Pendek Sebelum Tidur) .

Khususnya kepada rekan-rekan saya seniman-seniman musik muda-muda dan produktif, atau siapa pun saja yang bersinggungan, ada baiknya untuk mulai “merancang biografi” kita sendiri sedari dini, atau minimal mengarsipkan pengalaman-karya menjadi dokumentasi yang mudah dilacak, bisa dipegang, tidak tergantung sinyal internet, serta terfolderisasi/tersimpan dengan struktur yang baik (baca: kronologis, atau jelas penanda item informasi/waktunya).

Saya ingin berbagi sedikit pengalaman. Ketika kami tahun lalu (2020) menulis biografi Djaduk Ferianto, kami takjub, karena kami menemukan sedikitnya 600 item kliping berupa liputan dan tulisan di media massa (sejak akhir 1960-an), ribuan foto, sekumpulan poster, booklet-booklet pertunjukan, dan arsip-arsip fisik lainnya. Tentu saja semua yang masih tersimpan dan terawat itu jadi sangat memudahkan kami untuk menelusuri informasi yang lebih detail selain informasi dari narasumber atau kerabat yang kami wawancara (ingatan sangat bisa meleset).

Di tengah gelombang informasi digital internet dengan kebiasaan unggah-unduh dan pengarsipan explorer yang mungkin serba random, sejujurnya kita makin sulit membaca jejak kekaryaan kita secara intim dan personal. Internet dan Media Sosial bisa menyelesaikan masalah di satu sisi sebagai penyimpanan global, tapi pengarsipan personal dalam bentuk fisik punya sifat lain. Kita juga tak bisa memastikan apakah website-website yang meliput kegiatan kita, juga akun-akun kita, bisa bertahan selamanya, tentu ada resiko yang mengikutinya: kena hack, bangkrut, lupa password, tidak bisa diakses, 404, dan “ancaman-ancaman” lain di luar prediksi kita.

Kami belajar banyak dari mendiang Djaduk soal perencanaan biografis sejak dini itu. Djaduk menyadari (sejak masih sangat muda), bahwa pengarsipan personal adalah sebuah kewajiban yang akan penting pada waktunya. Kini dalam berbagai bentuk pergeseran, kita bisa menemukan sendiri formula-formula pengarsipan yang pas untuk kita. Koran atau majalah fisik mungkin sudah tidak meliput kegiatan kita, tapi peluang-peluang lain pasti selalu ada.

Musik dan Kata: 2 Jenis “Makhluk” yang Enggak Pernah Bisa Akur

Sejauh menggeluti alam musik dan kata (bahasa) secara bersamaan, dan setelah kurenungi bertahun-tahun, dua makhluk itu: musik dan kata, memang tak pernah bisa akur. Sebab sejujurnya, musik terlalu sulit dibahasakan, terlalu sulit diterjemahkan begitu saja ke dalam kata-kata.

Ada contoh sederhana, ada seorang pengarang musik mengaku dapat ilham yang datang dari langit, lalu perasaannya mengalir begitu saja dan ia mampu membuat musik yang (dianggap) indah oleh banyak orang. Giliran mau diwawancarai untuk saya tulis, dan ketika ditanya tentang bagaimana prosesnya, ia cuma menjawab: “Saya tak tahu, itu sulit dijelaskan dengan kata-kata, coba kamu tafsirkan sendiri musik saya itu.” Giliran sudah saya tulis berdasarkan imajinasi, bekal pengetahuan dan pendengaran saya, si pengarang musik itu bilang: “Bukan, bukan begitu maksud saya!” Hmmm.. memusingkan! Dan itu, seperti kolom kecil di Harian Kedaulatan Rakyat, Sungguh-Sungguh Terjadi.

Maka saya penasaran dan mendorong si pengarang musik itu agar mau berbicara lebih gamblang, meskipun ia tampak kesulitan. Sampai akhirnya ia mengeluarkan satu kalimat panjang yang menurut saya cukup sulit dipahami, begini: “Saya menguasai teknik berkomposisi, tapi saya tak pernah bisa menguasai intuisi dan kejadian-kejadian lain di luar teknik-teknik yang kasat dan saya anggap mudah dipelajari itu. Saya juga tak pernah mampu menguasai bahasa untuk menjelaskan musik saya. Tapi saya bisa memaklumi, bahwa seribu kosa kata mungkin tak cukup untuk menjelaskan musik saya. Tapi jika ada satu kalimat saja yang Anda temukan dan ternyata itu tepat, itu akan menjadi satu-satunya.”

Okay. Saya ingin keadilan. Artinya, saya mau bagi porsi agar hak saya untuk mendapatkan informasi sebagai jurnalis bisa tercukupi. Saya mengejarnya lagi: “Lalu bagaimana cara menemukan kalimat yang tepat itu?” tanya saya. “Dengarkan musik saya seribu kali atau sampai Anda merasa bosan! Tantang diri Anda untuk tidak mengukurnya semata dengan rasa suka atau tidak suka, bukan juga dengan pesan di balik musik itu. Buatlah papan catur seluas-luasnya dan isi dengan ribuan kata-kata, pilihlah yang paling logis dan mewakili.”

Saya terhenyak. “Aneh sekali orang ini,” gumam saya.

Saya menyerah, pamit pulang, tapi diam-diam saya tetap mencoba mengikuti anjuran si pengarang musik itu. Mendengarkan musiknya berkali-kali sampai jenuh dan muntah, dan mencoba menemukan kata yang tepat untuk membahasakannya, sekuat tenaga dan pikiran.

Bulan berikutnya saya kembali lagi ke rumahnya untuk melaporkan apa yang saya alami. Tapi apa yang terjadi? Rumah itu telah kosong. Hanya ada sisa sebuah kursi roda, beberapa buku dan cd audio di perpustakaannya. Kata tetangga sebelah, ia telah meninggal dunia tiba-tiba karena serangan jantung; padahal saya sudah siap satu kalimat yang mungkin cocok untuknya, begini bunyinya: “Menikmati musik ini seperti menikmati pelangi yang muncul di tengah segala ambigu antara cahaya dan mendung. Ada terasa indahnya, namun juga sedikit kegelapan yang misteri. Ia melukis pelangi dengan penuh pemahaman tentang nirmana, susunan warnanya tampak tidak sembarangan. Namun ada yang aneh. Sayang musik ini terasa pendek, tak ada bagian klimaks atau terasa menggebu-gebu bergelora, tak ada bagian yang benar-benar memikat, meskipun menantang untuk terus diikuti dan tidak membuat bosan. Satu hal yang perlu dicatat, sepertinya kekuatan musik ini ada di bagian ritmenya, yang disusun secara kompleks, namun tetap terdengar sederhana dan mistis. Elemen-elemen lain hanya terasa sebagai pendukung, bahkan tak lebih dari sekadar kosmetik…”

Abdi Suara Catharina

Catharina bukan sekadar piawai menyanyi, tapi mendidik penuh dedikasi

(Tulisan ini adalah resensi saya atas buku Catharina W. Leimena Menyanyi Indah untuk Negeri yang ditulis Ninok Leksono, Buku Kompas, 2020. Resensi ini sebelumnya telah dimuat di kompas.id pada tanggal 25 Agustus 2021).

Kapal Tristino Oceania membawa Catharina ke Roma. Total 18 hari waktu tempuh di laut itu. Melewati Terusan Suez jam 2 dini hari, hingga akhirnya tiba di Pelabuhan Napoli. Catharina menjemput kenyataan dari mimpi yang diidamkannya sejak remaja: Belajar vokal di Italia.

Dikisahkan di buku ini sebuah momen di dekade 1950-an. Catharina terinspirasi film yang dibintangi Elizabeth Taylor. Film itu menggambarkan situasi belajar vokal di Konservatorium St. Cecilia di Roma. Gayung bersambut di tahun 1959, mimpi dan doa Cathrin terkabul. Prof. Priyono, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, menawarkan Cathrin beasiswa untuk belajar vokal di Italia.

Pengumuman resmi dari Kantor Berita Antara perihal keberangkatannya ke Italia bersama 9 penerima beasiswa lainnya, masih ia simpan rapi dan termuat pula di buku ini. “Itu memang sudah menjadi mimpi saya” (hal. 17, 20). Jadilah ia berlayar ke surga opera itu. Kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pun ia tinggalkan begitu saja.

Sosok yang Beruntung

Cathrin memang sosok beruntung. Ia puteri dari dr. Johannes Leimena, seorang menteri paling jujur di era Soekarno. Namun bukan karena karunia dari langit itu lantas Cathrin moncer begitu saja. Masa-masa awal perjuangan karirnya penuh pergolakan batin, ditambah situasi politik Indonesia 1960-an yang serba berkecamuk.

Setelah 6 tahun belajar dengan banyak maestro di Accademia Nazionale di Santa Cecilia, Roma, dilanjutkan ke Konservatorium Giuseppe Verdi di Milan, 1965 Cathrin lulus. Tahun 1966 Cathrin memutuskan menikah dengan dr. Anton Warsadi Wiriadinata yang sudah cukup lama dikenalnya.

Bisa dikatakan, momentum Cathrin belajar di Italia dan momentum menikah lalu merintis karir di Indonesia, adalah dua fase pertama perjalanan Cathrin sebagai abdi bangsa di dunia menyanyi seriosa dan opera. Cathrin mulai aktif menyanyi di beberapa kota, antara lain Bandung, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta. 1969 mendirikan Sanggar Susvara, yang kemudian berkembang menjadi Susvara Opera Company. Lambat laun fokus dan pilihan dedikasinya adalah di dunia pendidikan.

Cathrin terbukti berhasil melahirkan generasi penyanyi hebat, baik di bidang musik klasik (seriosa, opera), maupun di bidang musik populer. Avip Priatna, Aning Katamsi, Binu Sukaman, Joseph Kristanto, adalah beberapa contoh murid sukses yang tersebut di buku ini. Di skena musik populer, Krisdayanti dan Gita Gutawa adalah dua contoh muridnya yang berhasil. “Ibu Catharina bagi saya adalah maha-guru, bukan sekadar guru,” ujar Krisdayanti.

Bab VI buku ini (hal. 61) menjadi penekanan tersendiri karena isinya bisa diterapkan oleh siapa saja yang ingin menekuni dunia tarik suara. Cathrin menjelaskan soal Tessitura, yang artinya kurang lebih “jangkauan rata-rata sebuah lagu atau suara.” Pesannya kepada penyanyi yang belajar: agar menyadari kemampuan alaminya, “kembali ke alam”, namun juga mengembangkannya semaksimal mungkin, tanpa harus memaksakan batas kemampuan (hal. 64).

Abdi Suara Catharina

Buku 13 bab dengan total 216 halaman yang ditulis Ninok Leksono ini memiliki kekuatan naratif yang sangat baik untuk menjelaskan sosok Cathrin dari berbagai aspek, baik riwayat karir dalam bentangan yang luas, personalitas (sikap dan filosofi hidup), kesaksian tulus keluaga dan para sahabat.

Tak hanya itu, buku ini juga didukung referensi-referensi yang memadai dan kontekstual untuk menjelaskan seluk-beluk opera maupun seni vokal. Tak kurang 8 buku tentang Opera yang dijadikan rujukan oleh Ninok. Dengan demikian buku ini menjadi sangat informatif.

Di dalam buku ini kita juga bisa menyaksikan tak kurang dari 103 gambar-gambar bersejarah yang mempunyai nilai informasi tersendiri dan otentik, mulai dari potret keluarga, pengalaman pentas, poster-poster, dan menarik pula ada sebuah foto ketika Cathrin menari lenso bersama Bung Karno di Roma. Ah, semua itu masih tersimpan dengan baik, dan itu merupakan bukti bahwa Cathrin juga merupakan pengarsip yang baik.

Melewati puluhan tahun eksistensi (lebih dari 70 tahun semenjak aktif menyanyi), dengan berbagai gelombang yang dihadapi Cathrin, bukanlah perkara mudah. 1982, setelah 16 tahun menikah, suami Cathrin meninggal dunia, dan Cathrin harus membesarkan anak-anaknya seorang diri di tengah kesibukan Bandung-Jakarta untuk mengajar. Begitu pun ketika Cathrin terkena tumor dan musti menjalani operasi. Ia percaya mukjizat Tuhan. Ia teguh menjalani. Hadirnya buku ini pun, yang semestinya rilis untuk memperingati 80 tahun Cathrin, terpaksa harus ditunda karena banyak hal. Cathrin sabar menanti, dan akhirnya selesai juga.

Bayangkan saja, pada usia 84 tahun, Cathrin masih lantang berbagi ilmu secara daring di masa pandemi corona ini. Cathrin masih memiliki ingatan dan pendengaran yang teramat baik untuk seorang manusia yang telah melewati perjalanan panjang kehidupan, tidak lagi pahit dan manis, namun aneka rasa. Keluarga terdekat, kolega, murid, semua bangga dan sangat menghormati keteguhan musikal dan hidup seorang Catharina Leimena.   

Prof. Toeti Heraty Roosseno menyebut di buku ini bahwa Cathrin telah mencapai Live Time Achievement. “Ia melewati lebih dari kodrat rata-rata usia orang Indonesia perempuan, yang umumnya hanya mencapai 74 tahun,” ujarnya (hal. 160).

“Jangan berhenti di saya”

“Semoga semua terus bergairah. Jangan berhenti di saya. Semua harus menghasilkan penyanyi-penyanyi untuk masa mendatang,” pesan Cathrin yang tentu secara spesifik ditujukan pada pewaris-pewaris ilmu dan semangatnya membina seni vokal di Indonesia.

Buku ini, alangkah baiknya, juga dibaca oleh penyanyi-penyanyi muda, tidak hanya di lingkup musik klasik, seriosa, atau opera saja, namun juga (calon) penyanyi untuk semua jenis musik. Relevan, menurut saya, di tengah maraknya penyanyi-penyanyi instan zaman digital saat ini—di mana mereka kurang memedulikan teknik bernyanyi, bahkan menisbikan perjuangan kecuali ingin viral dan ingin uang—maka buku ini hadir sebagai penyeimbang yang membawa pesan cerah dan mulia.  Buku ini adalah alarm yang tajam untuk mengingatkan pentingnya martabat seorang penyanyi dijaga sekuat jiwa.

Mengurai Sisi Sainstifik Musik di dalam Ilmu Kontrapung

Buku ini memaparkan dengan lugas dan tangkas apa yang dibutuhkan mahasiswa musik, penata musik, komposer, serta peminat seluk-beluk keterampilan teoretika di dalam penyusunan musik melalui Ilmu Kontrapung. Pembelajaran Ilmu Kontrapung menunjukkan bahwa di dalam musik terdapat elemen-elemen sainstifik yang logis dan sistematik.   

Buku Ilmu Kontrapung rilisan Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta (2021).

Kilas Balik: Sebuah Kenangan

Ketika membaca lembar-lembar awal buku ini, saya jadi teringat pengalaman berharga yang saya alami pada tahun 2004, sekitar 17 tahun yang lalu. Ketika itu saya adalah mahasiswa S1 di ISI Yogyakarta dengan minat Musikologi.  Di dalam kurikulum perkuliahan musikologi, selain kami mempelajari sejarah dan kajian repertoar musik dari berbagai zaman—termasuk praktik musik klasik—kami juga diwajibkan mengambil mata kuliah Ilmu Kontrapung, dan pengampunya adalah Prof. Victor Ganap, salah satu kontributor buku ini.

Layaknya jatuh cinta pada pandangan pertama, mengikuti kuliah Ilmu Kontrapung langsung membuat saya terkesima. Pak Victor adalah dosen yang disiplin serta memiliki kemampuan transfer pengetahuan yang sangat baik. Saya makin tertarik. Saking tertariknya, saya pun mencatat dengan cermat dan detail setiap materi yang disampaikan oleh beliau (catatan tersebut masih saya simpan sampai sekarang). Sebagian dari isi buku ini juga merupakan materi yang disampaikan Pak Viktor waktu itu. 

Tapi saya menyesal, ketika berkuliah di ISI Yogyakarta, saya belum pernah merasakan pengalaman diampu oleh Romo Prier. Beliau sudah tidak mengajar lagi di sana. Namun saya tidak pernah kelewatan untuk mengoleksi karya-karya ilmiah yang ditulis Romo Prier. Saya hanya membayangkan, jika saya dipertemukan dengan Romo Prier waktu itu, mungkin pengetahuan saya tentang musik akan menjadi lebih lengkap, karena beliau—yang juga menjadi kontributor buku ini—adalah salah satu sosok idola yang berwawasan luas, berdedikasi tinggi, dan konsisten terhadap perkembangan ilmu pengetahuan musik, baik dalam konteks Gereja Katolik maupun di lingkungan akademik dan masyarakat.

Mengapa pengalaman 17 tahun silam tersebut begitu berharga bagi saya? Karena pada saat itulah pertama kalinya saya mengenal musik sebagai sebuah sains (ilmu pengetahuan yang logis dan sistematik, layaknya mempelajari matematika sebagai ilmu pasti), bukan hanya ekspresi seni yang subjektif saja.

Hubungan matematika dan musik memang sudah berlangsung sejak masa Yunani Kuno. Di dalam buku A Geometry of Music: Harmony and Counterpoint in The Extended Common Practice (Dmitri Tymoczko, 2011) disebutkan, bahwa di dalam rentang berbagai fase sejarah musik sejak dulu hingga kini, musik tidak bisa kita lepaskan dari matematika atau unsur-unsur yang logis (terdapat rumus-rumus yang absolut, dan unsur-unsur yang terukur, bahkan pasti), namun—tentu saja—fleksibel dalam ekspresi, untuk tetap mengikat musik sebagai sebuah seni. Apa yang kita mainkan hari ini—menurut buku tersebut—telah terjadi ratusan bahkan ribuan tahun silam, kita terus mengulang, memaknai kembali, namun dalam konteks maupun interpretasi yang terus berubah dan berkembang. Semua itu karena kita juga mewarisi kebudayaan musik sebagai sebuah fakta maupun ilmu yang dinamis.

Di dalam Ilmu Kontrapung ada peraturan-peraturan tertentu yang serba ketat dan kemungkinan bisa menghambat kebebasan berekspresi secara natural. Ilmu Kontrapung menuntut kita untuk disiplin, namun kita harus ingat pula bahwa di dalam ekspresi musik selalu ada tarik-ulur antara unsur-unsur intuitif maupun rasional, di mana keduanya selalu menantang dan menarik untuk diposisikan secara seimbang atau saling melengkapi.  

Tentang Buku ini

Buku ini terdiri dari tiga bagian besar, yaitu Ilmu Kontrapung Tonal (hal. 7-44), Ilmu Kontrapung Modal (hal. 45-114), dan Teknik Kontrapung Paul Widyawan (hal. 86-121). Bagian pertama ditulis oleh Victor Ganap, lalu bagian kedua dan ketiga ditulis oleh Romo Prier. Bagian pertama dan kedua mengetengahkan informasi (pelajaran berikut latihan) Ilmu Kontrapung sebagai salah satu disiplin teoretikal musik yang fungsional untuk keperluan penyusunan musik (baik aransemen maupun komposisi), dan bagian ketiga lebih memaparkan analisis atas teknik kontrapung yang dipakai Paul Widyawan.

Dijabarkan di buku ini dua pengertian mendasar tentang apa itu kontrapung: (1) Teknik komposisi musik polifon, di mana suatu lagu pokok (cantus firmus) dilengkapi dengan satu atau beberapa lagu yang secara melodis dan ritmis berdiri secara mandiri, namun tetap cocok satu dengan yang lain, hingga semua suara bersama-sama membentuk suatu komposisi; (2) Kontrapung adalah istilah “lagu pelengkap” untuk sebuah melodi yang sudah ada (disebut juga cantus firmus) dan disusun menurut peraturan-peraturan ilmu Kontrapung (hal. 45).  

Menurut sejarahnya, Kontrapung dalam Modus Gereja dipopulerkan oleh Giovanni Pierluigi da Palestrina (1525-1594) dari Italia pada periode Renaisans (Abad Ke-16), sedangkan kontrapung untuk instrumental diciptakan oleh Johann Sebastian Bach (1685-1750) dari Jerman, pada periode Barok (Abad ke-17). Kedua jenis kontrapung merupakan musik gaya Polifonik, di mana Kontrapung vokal menggunakan tangganada Gereja, sedangkan Kontrapung instrumental menggunakan tangganada Diatonik. Aabila Palestrina berhasil menciptakan Missa Papae Marcelli yang Eklesiatik sehingga Gereja Katolik Roma mengadaptasi musik Polifonik selain Monofonik, maka penemuan Bach telah melahirkan sistem diatonik yang terdiri dari 24 Tonal Mayor (12# + 12b) dan 24 Tonal Minor (12# + 12b) yang bisa kita dengar melalui 48 Prelude-Fugue dalam Das Wohltemperirte Clavier (hal. 7-8).

Pada bagian pertama buku ini diketengahkan materi pembelajaran yang berisi teknik-teknik kontrapung tonal, yaitu bagaimana menyusun Struktur Melodi Satu Berbanding Satu, Satu Berbanding Dua, Satu Berbanding Empat, serta dilengkapi penjelasan mengenai Komposisi Melodi Polifonik dan Komposisi Musik Polifonik dengan contoh karya Invention dari Ichiro Mononobe.

Bagian kedua terasa lebih luas namun berfokus pada penjelasan mengenai Ilmu Kontrapung Modal. Pada bagian kedua ini, di antaranya, diketengahkan mengenai Sistem Nada Musik Abad Pertengahan, Jenis-Jenis Interval Abad Pertengahan, Tangga Nada Modal/Gregorian, Lagu-Lagu Modal Barat, Sejarah Ilmu Kontrapung (hal. 45-50), diikuti dengan teknik menyusun kontrapung dalam dua suara (hal. 54-69) dengan contoh-contoh implementatif yang bisa langsung dipraktikkan.

Menarik sekali menyimak sub-bagian buku ini yang berjudul Penerapan Peraturan-Peraturan Ilmu Kontrapung pada Lagu Tradisional Indonesia (hal. 70), dan Cara Menangani Lirik dalam Kontrapung (hal. 101), disisipi pula di bagian ketiga analisis teknik kontrapung Paul Widyawan yang menjadi wawasan tersendiri. Beberapa sub-bagian tersebut membuka pengetahuan baru terkait aplikasi Ilmu Kontrapung yang lebih kontekstual dan terbuka, karena umumnya Ilmu Kontrapung bersumber dari sistematika musik Barat, dan lebih sering dipakai untuk menyusun musik-musik instrumental.  

Disiplin Ilmu Kontrapung memang sangat terikat dengan penguasaan atas keterampilan membaca dan menulis dalam notasi balok. Sebab itu memang dibutuhkan kemampuan tersebut terlebih dahulu sebelum mempelajari tiap materinya. Tidak mengherankan pula bahwa buku ini lebih banyak berisi contoh-contoh pelajaran yang diketengahkan ke dalam notasi balok, dengan didukung sedikit narasi (teks) demi memberi informasi dan memudahkan pemahaman.

Penutup

Kedua penulis buku ini, baik Victor Ganap maupun Romo Prier, adalah sosok yang tidak diragukan lagi keahliannya dalam disiplin Ilmu Kontrapung. Buku ini tentu saja sangat penting untuk memberi pemahaman mendasar namun komprehensif mengenai Ilmu Kontrapung khususnya yang berkembang pada kurun modus Gereja Katolik, Renaisans, dan Barok, dilengkapi juga teknik penyusunan kontrapung pentatonik yang merupakan khazanah tersendiri. Kiranya ke depan perlu ada juga buku-buku lanjutan yang mengetengahkan Ilmu Kontrapung Modern hingga pada perkembangan terkini.

Resensi ini telah dimuat di Majalah Warta Musik Edisi Juni 2021.

Tahun Produktif Rilisan Album Gitar Klasik-Akustik (2018-2020)

Mari sejenak kita meluangkan waktu untuk mengapresiasi karya-karya musik terkini di dunia pergitaran Indonesia, lebih tepatnya pergitaran instrumentalia jenis klasik dan akustik.

Dua istilah itu, (gitar) klasik dan (gitar) akustik, sebetulnya mempunyai pengertian yang agak saling-tubruk. Tapi gampangnya begini saja: gitar klasik untuk menyebut gitar yang bersenar nilon, dan gitar akustik adalah sebutan untuk gitar bersenar baja/kawat. Keduanya memiliki kesamaan, bisa berbunyi tanpa tenaga listrik dan punya area resonansi yang menjadi muara dari sumber bunyi yang dihasilkan oleh dawai yang disenggol atau badan gitar yang dipukul.

Cukup menggembirakan, karena sepanjang 2018 hingga 2020 tiap tahun nongol satu album yang mengetengahkan karya-karya instrumentalia untuk gitar solo dan ansambel. Kebetulan semua album itu mbrojol di Yogyakarta, meskipun gitarisnya berasal dari berbagai penjuru negeri.

Yang pertama adalah Album Kompilasi Volume 1 dari Kolektif Gitar Klasik Indonesia (Indonesian Classical Guitar Collective). Album ini dirilis pada 2008 dengan ditandai potong tumpeng dan doa di Ethnictro Music Education, Jogja. Isinya adalah rekaman-rekaman dari beberapa ansambel dan gitaris solo. Mereka adalah: Nocturnal Guitar Quartet, Duo Anantara, Duo Rocky, Nabita Guitar Duo, 9PM Guitar Duo, Ahmad Fauzi Ihsan, Putu Lia Veranika, dan Fauzi Akmal Rabbani. Umumnya mereka memainkan karya-karya lama dari berbagai komponis luar Indonesia, dan hanya satu karya dari komponis Indonesia.

Dengarkan album dari ICGC di sini.

**

Yang kedua adalah album GATRA, Nocturnal Guitar Quartet. Album yang dirilis pada akhir tahun 2019 ini sangat spesifik, karena secara khusus menampilkan karya-karya komponis dari Indonesia yang diminta menulis untuk karya dengan format kwartet, atau empat gitar. Kwartet yang digawangi oleh Vaizal Andrians, Gita Puspita Asri, Roby Handoyo, dan Adi Suprayogi ini pertama kali merilis album setelah lima tahun kiprah mereka. Tercatat NGQ menjuarai beberapa kompetisi ansambel gitar, antara lain di Italia, Jepang, dan Malaysia. Prestasi tersebut sangat membanggakan dan memberikan inspirasi tersendiri bagi rekan-rekan yang menggeluti ansambel gitar klasik.

Dengarkan album dari Nocturnal Guitar Quartet di sini.

Ulasan album GATRA bisa dibaca di sini.

Yang ketiga adalah album dari kolektif gitar fingerstyle (Indonesian Fingerstyle Guitar Community) yang rilis pada 17 Agustus 2020, persis di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Album ini mengusung ide—yang sekaligus dijadikan nama album—WE CREATED, NOT COPY PASTE. Memberi pesan kepada gitaris fingerstyle di seantero Indonesia agar mulai berani mengarang karya sendiri, bukan “ngover-ngover” atau copy-paste.

Album dari IFGC ini tidak didistribusikan secara digital, namun dijual fisik dalam konsep bundle dengan produk lainnya. Jadi silakan mengapresiasinya dengan menghubungi narahubung (klik di sini).

Selamat untuk semuanya!

ZIARAH MUSIKAL KE MAKAM SUKA HARDJANA

Di makam Pak Suka, Triyagan, Karanganyar, Jawa Tengah.

Minggu, 16 Agustus 2020, telepon berbunyi, Bu Suka mengirim kabar, lebih tepatnya mengajak saya untuk ikut tabur bunga ke makam Pak Suka pada esok hari. Tanpa pikir panjang, ajakan itu saya terima begitu saja.

Senin, 17 Agustus pagi kami bertemu di Solo. Turut hadir pula sebagian keluarga Pak Suka yang datang dari Jogja, sekitar belasan orang. Serombongan tiga mobil kami berangkat, dari Solo ke Triyagan, Karanganyar. Saya satu mobil dengan Bu Suka dan Mbak Jum, asisten pribadi ibu. O, ya, sebelum berangkat kami dijamu gule kambing dan opor ayam, lengkap dengan lauk pauk yang lezat.

“Hari ini 82 tahun, Mas. Pasti bapak senang, dikunjungi kita semua,” kata Bu Suka lirih.

17 Agustus memang merupakan hari lahir Pak Suka, sosok yang banyak dikenal sebagai penulis dan inspirator, khususnya di dunia musik. Seluruh hidup Pak Suka memang telah terbukti didedikasikan untuk pertumbuhan musik dan pengetahuan melalui buku-buku yang ditulisnya, penyelenggaraan pementasan musik klasik-kontemporer yang diadakannya, diskusi dan ceramah, hingga menjadi pembimbing untuk berbagai penelitian musik.

Melalui Pak Suka saya banyak sekali belajar bagaimana menulis dengan retorika yang baik, bagaimana  menulis agar mudah dipahami masyarakat luas. Dan saya selalu senang karena terus disemangati agar tetap menulis. Mengenal Pak Suka secara personal adalah rahmat tersendiri yang saya nikmati, syukuri, agar menjadi amal kepada siapa saja. Persis seperti anjuran Pak Suka suatu ketika kepada saya di sebuah SMS:

“Mas Erie, saya telah membaca buku-buku Anda. Terimakasih atas kirimannya. Paket Anda hampir rusak karena pak pos melemparnya sembarangan dari luar pagar! Itu tabiat yang tidak pantas ditiru. Untungnya saya bergegas menyelamatkannya. Mas Erie, pertama-tama saya senang, Anda mau menulis dan turut menerbitkan buku-buku. Setidaknya Anda membukakan pikiran masyarakat kepada hal-hal yang belum tentu mereka pikirkan, tentu saja selamat atas terbitnya buku Anda. Hanya satu catatan untuk Anda: tetaplah menulis, hanya itulah satu-satunya cara untuk membuka cakrawala bahwa dunia musik tidak hanya yang serba glamor dan hiburan! Kalau ke Jakarta jangan lupa beritahu saya, silakan menginap di rumah saya sepuasnya. Shaloom, Suka Hardjana.”

**

Setelah 30 menit perjalanan, kami akhirnya tiba di makam, dipayungi terik matahari yang cukup menyengat, tepat di tengah hari. Bu Suka memimpin doa. Kami berada dalam suasana khusyu’ sekian menit, lalu kami menabur bunga, bergantian.  

“Ini adik-adikmu datang, banyak sedulur-sedulurmu, ada Mas Erie juga,” bisik Bu Suka di depan nisan putih yang bersih.

Hari Merdeka kali ini memang terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, karena biasanya saya cuma main musik mengisi hiburan di acara tirakatan kampung. Kali ini diberi kesempatan dan renungan untuk berziarah ke makam “seorang pahlawan.” Benar-benar tidak berlebihan saya mengatakan itu untuk Pak Suka. Pahlawan, sebuah kata yang diserap dari Bahasa Sansekerta phala-wan, artinya adalah orang yang menghasilkan buah berkualitas bagi bangsa.

“Pak Suka, saya pamit dulu.”

Triyagan, Karanganyar, 17 Agustus 2020.

Tulisan saya lainnya tentang Pak Suka, yang menyuguhkan informasi lebih komplit, silakan klik: Di Tangah Suka Hardjana Musik Menjelma Ilmu Pengetahuan

Pengarsipan Musik Harus Jalan Terus!

Terbitnya buku ini memberi makna sekaligus penegasan bahwa kerja pengarsipan musik di Indonesia masih terus dilangsungkan, bahkan makin semarak, terlepas dari berbagai kendala yang dihadapi.

Buku Dua Dekade Musik Indonesia (1998-2018), disusun oleh Kelik M. Nugroho

Pada saat resensi ini ditulis, tersiar kabar ironik di akun Instagram @iramanusantara. Mereka sendiri yang mengumumkan berita buruk itu, diikuti swa-ultimatum yang terasa ngilu. Inti siarannya begini: ”Kami tutup, atau lanjut?”

Sebagai informasi, Irama Nusantara telah tujuh tahun berkontribusi mengarsipkan musik populer Indonesia, salah satunya dengan jalan penyimpanan, perawatan, digitalisasi, dan penyiaran arsip melalui website.

Semenjak pandemi korona menyergap dan menyeret banyak organ ke ”lubang hitam”, Irama Nusantara ikut keok, atau setidaknya hampir keok. Maka mereka berinisiatif mengadakan galang dana untuk menyelamatkan diri. Nanti kita lihat, jika tak ada hasil signifikan, maka pada September 2020 mereka akan memilih jalan terakhir: gulung tikar.

Pengantar di atas menurut saya sangat pas dengan momen meluncurnya buku  Dua Dekade Musik Indonesia ini. Ada makna sekaligus penegasan bahwa kerja pengarsipan musik di Indonesia masih terus dilangsungkan, bahkan makin semarak, terlepas dari berbagai kendala yang dihadapi.

Setidaknya tiga buku serupa sebelumnya, yaitu 100 Tahun Musik Indonesia (Denny Sakrie, 2015), Almanak Musik Indonesia (Kelik M Nugroho, 2015), dan 100 Konser Musik di Indonesia (Muhidin M Dahlan, Anas Syahrul Alimi, 2018), menjadi sangat menarik jika diestafetkan dengan buku ini. Semuanya sama-sama berusaha memadatkan musik yang tadinya ”seni waktu” (yang bersifat sementara, didengarkan dan hilang/einmalig), menjadi ”seni data dan informasi” yang memicu terciptanya pengetahuan dan manfaat.

Kelik M Nugroho, penulis buku ini, berlatar belakang seorang jurnalis yang menggemari musik dan memiliki perhatian besar terhadap pendokumentasian kronik dan leksikonik. Buku ini adalah kontribusinya yang kedua, setelah Almanak Musik Indonesia. Niatnya sama-sama ingin membaca jejak aktivitas-kekaryaan musik di Indonesia secara periodik.

Diakui Kelik bahwa sebetulnya masih sulit untuk menemukan gambaran perkembangan musik pop Indonesia secara periodik. Generasi demi generasi bermunculan, kemudian tenggelam meninggalkan batas-batas yang tidak jelas.

Misalnya jika kita melihat bentangan tersebut berdasarkan kurun dekade, nyaris tidak ada simpulan-simpulan yang signifikan dari tiap perkembangannya, data yang dominan hanyalah berupa identifikasi atas corak-corak musik yang tengah tren pada tiap dekade. Misalnya tren rock dan eklektik yang begitu luar bisa di dekade 1970-1980-an.

Sebab itu, selain mendata, sebetulnya buku ini juga mengetengahkan wacana, justru dengan pertanyaan lebih kritis: Apakah memang perlu sejarah musik Indonesia kemudian dibingkai ke dalam periodisasi semacam ini? Bukankah lebih cocok (sepertinya), berangkat dari momentum-momentum saja?

Misalnya hadirnya perusahaan-perusahaan rekaman lawas, termasuk Lokananta, kemudian munculnya Bintang Radio dan Televisi, gugurnya sentralisasi industri musik, dan seterusnya. Semua itu memberi pengaruh apa, ada kemajuan dan kemunduran seperti apa? Belum tahu, sepertinya menarik untuk didiskusikan kembali.

Substansi

Buku ini memang tampil ”berani”. Ada proses kreatif yang sebetulnya tidak sederhana, yaitu pergulatan ide untuk mengetengahkan baris nama-nama yang paling berpengaruh dalam perjalanan musik di Indonesia. Misalnya buku ini menampilkan data yang sejujurnya ”riskan” untuk diketengahkan, yaitu ”10 Besar Band Indonesia” yang dipilah dalam dua rentang waktu (1945-1997 dan 1998-2018). Riskan karena memakai kata ”10 Besar” pada judul babnya.

Ada kemungkinan memicu ”cuitan” hingga kontroversi. Misalnya: Band apa saja yang (dianggap) terlewat dari amatan? Apa parameter logisnya sehingga yang ini disebut besar, yang itu tidak? Dan seterusnya. Sudah terasa rumitnya jika diperdebatkan, dan sejauh kita tahu, musik bukanlah lomba; eksistensi sebuah band rasanya juga bukan demi tujuan dirankingkan seperti itu. Pada sisi lain, ”keberanian” ini juga menarik sebagai pemantik diskusi-diskusi lebih detail sesudahnya.

Bab ”10 Besar Band Indonesia” kemudian diikuti dengan ”Daftar 100 Band Indonesia (1998-2018)” dan ”Daftar Penyanyi Indonesia (1998-2018)”. Kedua bab tersebut bermanfaat untuk memantau kembali ”siapa-siapa yang ada” dan ”apa saja contoh karya-karya mereka”. Isinya sekadar daftar pada umumnya yang berhasil menjadi etalase dari sekian banyak ”produk-produk”. Sangat memudahkan kita membacanya tanpa harus selancar mencari tahu ke sana-kemari melalui banyak sumber.

Memang terasa ada yang lebih bisa didiskusikan selain hanya menyimak riwayat masing-masing band/penyanyi itu.

Begini, dua dekade untuk ukuran usia manusia adalah rentang waktu yang pendek, beda halnya dengan perjalanan musik, itu kurun yang melelahkan. Tapi sayangnya, industri musik di Indonesia pada faktanya lebih banyak menghadapi nasib buruk, di tengah segala kegairahan, kesuksesan, dan glamoritasnya. Sejujurnya kita juga masih belum berhasil menemukan orientasi dan kontribusinya bagi banyak hal, entah kebudayaan, ekonomi, maupun sosial-kemanusiaan. Penekanan ini agaknya juga menjadi penting.

Dua riset terkini: (1) Memetakan Ekosistem Musik Indonesia (Dina Dellyana, 2020), dan Pemetaan Ekologi Sektor Musik Indonesia (Idhar Resmadi, 2020), agaknya jadi nyambung dan mesti terhubung dengan kerja pendataan semacam buku ini. Mengingat, dari 12 rekomendasi yang mencuat di forum Konferensi Musik Indonesia (KAMI), tahun 2018 dan 2019, ada tiga hal yang menjadi pengerucutan dan perhatian penting: Sistem pendataan dan pengarsipan terpadu, infrastruktur musik, dan pendidikan musik.

Semua itu masih berupa pemetaan, masih terasa ”angan-angan”, masih menjadi harapan, bahkan beberapa terasa klise: ”Ah, apa mungkin mewujudkan semua itu?” Realisasi dan problematikanya akan menjadi soal berikutnya. Ada pertarungan antara optimisme dan pesimisme yang luar biasa.

Pada intinya, bagi para pembaca, pembacaan riwayat seperti ini memang perlu diikuti dengan aktivitas/benang merah yang lain, setidaknya ada tiga: pertama, mendengarkan secara langsung karya-karya mereka; kedua, melihat kemungkinan hubungannya dalam berbagai konteks: ekonomi, kebudayaan, sosial, dll, salah satunya dengan cara menyimak misi karier band/penyanyi, melengkapi perhatian kita pada produksi dan distribusi karya mereka. Dari situ akan tergambar medan perjuangan band/penyanyi di luar uang dan popularitas.

Persis seperti yang dikatakan penyusunnya: ”Musik tak mungkin berkembang sendirian.” Ketiga, meneruskannya menjadi dialog-dialog terbuka dengan topik yang lebih luas, dan rasanya harus makin berlangsung intensif, supaya musik dapat terus berkembang dalam wacana dan kritik.

Kelik M. Nugroho (Foto dok. pribadi)

Penutup

Bagian kronik musik 1998-2018 di buku ini (hlm 181-354) adalah yang paling menarik pada sisi keseimbangan pada penyajian, artinya tidak sebatas industri musik yang moncer. Ada ratusan informasi cukup detail mengenai momentum-momentum di dunia musik Indonesia berdasarkan berita-berita di media massa, antara lain momen konser, festival, penerimaan penghargaan, meninggalnya musisi, rilisan album, dan seterusnya.

Buku Dua Dekade Musik Indonesia selayaknya membuat kita semakin optimistis bahwa Indonesia adalah ruang besar dengan segala aktivitas kebudayaan musik yang beragam. Keberagaman yang ada di dunia musik Indonesia, khususnya di lanskap industri musik, memang sudah selayaknya diikuti dengan pemikiran-pemikirannya. Hal ini supaya musik juga bisa dimaknai tidak sekadar sebagai gaya hidup atau tren semata.

Keadaan pada masa kini misalnya, musik populer lebih sering dilihat sebagai pencitraan dan uang, musisi makin berlomba untuk eksis cari tenar dan pundi-pundi melalui internet. Visual lebih menonjol ketimbang musik. Kita juga sudah jarang sekali berdiskusi soal kualitas musik secara intim, seperti pembicaraan-pembicaraan pada setidaknya dekade 1970-1980-an. Nyaris saat ini semua terasa ”rata-rata”.

Buku ini selayaknya memancing diskusi dan mengangkat derajat pengetahuan kita tentang musik. Dan tentu saja, pengarsipan musik harus tetap jalan terus. Bahkan, kalau perlu meluas dengan pengarsipan genre musik dangdut, tradisional, pop religius, dan klasik yang dalam kenyataan juga menjadi bagian sehari-hari kehidupan masyarakat Indonesia.

Data Buku:

Judul Buku: Dua Dekade Musik Indonesia (1998-2008)

Penulis: Kelik M Nugroho

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Tahun Terbit: Cetakan pertama, 2020

Tebal: ix + 355 halaman

ISBN: 978-602-481-309-3

Artikel ini telah dimuat di kompas.id dalam rubrik resensi (9/08/2020).

Sapardi Djoko Pinurbo: Tentang Ketakjuban Saya pada Imajinasi Mereka

Karya: Alfin Rizal

Mungkin hanya penyair yang bersungguh-sungguh, yang (selalu) berusaha menciptakan—istilah Pak Sapardi—“bahasa khas”, ekspresi yang otentik, personal, sulit ditiru, dan terus-menerus menggugah rasa indah para pembacanya.  

Sapardi mengaku hanya mengandalkan “imajinasi” ketika menulis puisi.

“Ah, Pak Sapardi bo’ong! Itu pasti bukan imajinasi level biasa!”

“Oh, imajinasi ada levelnya, ya? Kayak sambel aja! Ha.Ha.Ha,” ujarnya terkekeh.

Ya, di dalam imajinasinya itu, menurut keyakinan saya, terkandung rempah-rempah mujarab berikut resep-resep yang tidak sembarangan, sebagai modal menelurkan puisi-puisi khidmat. Saya juga teramat yakin ada teknik-teknik tersembunyi, seperti koki memasak. Semua teknik itu, dalam segala kemungkinan aplikasinya, tidak selalu bisa dibocorkan gamblang. Selalu ada rahasia, bahkan rahasia yang tidak pernah bisa untuk diungkapkan. “Kok bisa bagus?”; “Ya, pokoknya begitu…”

Barangkali imajinasi yang dibilang Einstein juga bukan imajinasi yang serampangan saja, namun imajinasi yang telah melewati berbagai pergumulan. Imajinasi Sapardi—atau seniman pada umumnya yang berdarah-darah mengeksplorasi sumber-sumber kreatif dari mana saja—adalah imajinasi yang terus-menerus dipergulatkan dengan: (1) Waktu—entah kapan itu berakhir yang jelas harus terus mencipta; waktu adalah fana, tidak bisa dideteksi, sementara kita (pikiran manusia) abadi; (2) Makna hidup pribadi—soal renungan hingga kebahagiaan personal; (3) Manfaatnya bagi Orang Lain—karena puisi juga memberi penghiburan sekaligus makna bagi pembacanya.

Imajinasi dalam level yang kompleks, selalu bergulat dengan pengetahuan dan keputusan yang tiada habisnya. Terus diupayakan. Sering gagal, atau nanggung, bahkan sebagian hasilnya dianggap tidak penting. Dari beragam hasil-hasil itu, ada yang kemudian muncul sebagai hasil “yang tidak sembarangan.”

Waktu pertama kali membaca “Aku Ingin”, saya betul-betul membayangkan kata-kata berikut ini dalam wujud fisiknya:

…kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

…isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Ada yang sulit dimengerti, namun bisa dinikmati.

Ada yang logis, ada pula yang abstrak.

Sapardi “meng-orang-kan” kayu dan awan (personifikasi), dan memunculkan kisah tersendiri sebagai “epistemologi batin” dari dua benda kasat yang diimajinasikan agar terasa punya peristiwa. Kagum pada puisi itu, dan saya senang menyanyikannya setiap waktu.

Begitu pun pada puisi “Dalam Doaku”, selalu dikutip penutupnya oleh banyak orang. Memang sangat menyentuh:

Aku mencintaimu

Itu sebabnya aku takkan pernah selesai

Mendoakan keselamatanmu…

Ada celah untuk berakrobat sedikit di antara kata “mendoakan” dan “mu.” Yang mudah dan umum cukup “mendoakanmu”, tapi itu terasa imajinatif level biasa. Maka ditambahkan kata “keselamatan”—yang menyempil di antara “mendoakan” dan “mu”, yang menjadikan penutup puisi ini sangat kuat dan menyentuh… Membuat saya khususnya, sungguh selalu ingin berdoa bagi keselamatan siapa saja.

Kebetulan 2017 lalu Art Music Today berproyek dengan pianis Angelica Liviana, membawakan gubahan “Dalam Doaku” yang ditafsir pianis-komponis Ananda Sukarlan dengan sangat apik menjadi karya komposisi musik.

“Hujan Bulan Juni” juga lebih dari sekadar hujan yang jatuh begitu saja. Atas kekaguman ini saya mengarang melodi lagu untuk puisi itu. Dengarkan di sini: https://www.facebook.com/eriemusike/videos/10155029373134910.  

Akan ada sejuta obituari untuk Sapardi. Itu tidak berlebihan untuk penyair sekhidmat dan sekonsisten beliau; yang memberi warna tersendiri pada alam raya puisi Indonesia.

**

Nah, ketika mengenali puisi-puisi Pak Sapardi, saya kok otomatis merasa tergeret dengan penyair lebih muda satu lagi: Joko Pinurbo. Kekuatannya juga serba ekstra. Wajah JokPin itu, kalau menurut saya, sudah sangat puitik, lengkap dengan tekstur dan guratan-guratan hasil perenungan dan perjuangan mendalam terhadap bahasa sebagai produk ekspresi yang khas, yang ditelurkan tanpa mengenal waktu. Artinya, kapan pun di tubuh dan pikiran Joko Pinurbo ada puisi. Makan minum puisi, tidur puisi, ia tak pernah sebenar-benarnya puasa berpuisi. Bagaimana mau ditandingi? Layaknya Didi Kempot yang bagi saya “di atas rata-rata.”

“Kamus Kecil” adalah yang paling saya suka sejak baris pertama, terutama dua penggalan ini:

Bahwa ibu tak pernah kehilangan iba…

Dan juga ini:

Bahasa Indonesiaku yang gundah

Membawaku ke sebuah paragraf yang merindukan bau tubuhmu…

Dalam interpretasi saya yang sangat awam dan tak paham teori puisi, Joko Pinurbo melakukan banyak sekali terobosan dalam berbahasa. Ada berlapis-lapis keseriusan di tengah segala permainan kata yang terkesan menggelitik, sederhana tapi kalau dicoba sulit, butuh waktu panjang untuk sampai kepada “yang khas” itu. JokPin memperbaharui Sapardi dalam gaya dan ekspresi, meneguhkan kembali rasa tanggap kita terhadap bahasa Indonesia yang belakangan kerap dipakai sembarangan saja oleh orang-orang yang tak pernah mau menghargai “nyawa bahasa.”

Maka dari itu, upaya memberi nyawa pada bahasa adalah harga mati bagi JokPin, dan tentu saja Sapardi. Keduanya sama bagi saya, memberi makna bagi hidup ini. Karena sama, nama keduanya bisa disatukan: Sapardi Djoko Pinurbo.

Selamat Jalan, Pak Sapardi. Terima kasih, Pak JokPin.

Hormat saya.

Solo, 23 Juli 2020 04.49 WIB. Subuh.

MERAYAKAN 2700 TAHUN KEMENANGAN MUSIK MELAWAN PANDEMI!

Indonesia Menyanyi (Virtual Choir). Sumber: YouTube Tommyanto Kandisaputra

“Musik adalah ilmu yang mengajak setiap orang untuk tertawa, bernyanyi, dan menari”, ujar Christopher Macklin, Doktor Musikologi dari Universitas Mercer, Amerika.

Tertawa, bernyanyi, dan menari adalah penawar ultra-herbal bagi jiwa, dan terbukti ampuh membunuh depresi, stres, atau frustasi yang menggerogoti pikiran manusia. Terasa tidak main-main, aktivitas ta-nya-ri itu sudah dilakukan sejak 2700 tahun silam. Untuk apa? Salah satunya melawan pandemi!

Melawan, dalam arti yang paling substansial, bukanlah pertarungan antar muka atau jotos-jotosan dengan pandemi, melainkan menjaga sepenuhnya jiwa-raga supaya tidak ikut remuk tertindas krisis. Kalimat “Musik adalah ilmu” yang diucapkan Chris Macklin saya maknai sebagai semacam penyelamat. Musik itu menyelamatkan. Jika musik adalah ilmu, maka musik harus menyelamatkan.

Bagi saya tak ada ilmu yang pada fungsinya tidak menolong atau menyelamatkan ummat manusia dari berbagai masalah, entah mudah atau sulit. Kalau pun ilmu dipakai sebagai modus demi membuat keadaan makin runyam, sulit, dipakai melukai, itu artinya melanggar segala fitrah ilmu, melepaskan segala kemurniannya.

Nyanyian penyemangat dari balkon

Anda pernah nonton (atau ingat) video-video di Italia yang menunjukkan musisi main musik di balkon atau jendela, saling melempar senyum, berkolaborasi dalam jarak fisik: menyanyi, menari? Yup! Itu dia!  

Nah, apa yang kita saksikan di video-video itu ternyata sudah pernah dilakukan sejak 1576 ketika Milan, Italia, ikut terkena epidemi ganas yang disebut oleh Alessandro Manzoni sebagai Wabah Santo Charles. Dalam waktu kurang dari dua bulan, 6000 nyawa terenggut karena wabah ini.

Uskup Agung Milan, Charles Borromeo, membuat perintah semacam Go Lockdown keseluruh warganya, menganjurkan setiap orang agar tetap di rumah, berdoa dan beribadah di rumah.  Ketika sebagian orang dari pemerintahan gereja berkeliling untuk membagi-bagikan sembako kepada warga, mereka umumnya bersaksi:

“Ini sungguh tidak biasa. Di sepanjang perjalanan, tak ada yang saya dengar selain lagu dan musik yang berkumandang di teras dan balkon.”

Ada oplosan antara kesedihan dan motivasi agar tetap semangat! Pandemi memang identik dengan dua suasana itu.

Orang-orang di Eropa terbiasa menggunakan musik sebagai media untuk saling menyemangati, baik antar keluarga terdekat maupun tetangga atau warga-komunitas. Mereka memainkan atau menyanyikan apa saja yang mereka mampu, namun khususnya lagu-lagu pujian Kristiani dan musik-musik klasik.

Jauh sebelum itu

Ada fakta juga, bahwa sejak zaman Mesir Kuno, Yunani, dan Babilonia, musik memang telah menjadi media andalan yang kerap digunakan sebagai obat penawar bagi masalah-masalah psikologis-spiritual, termasuk berfungsi menjaga ikatan sosial di tengah wabah.

Ketika wabah melanda Sparta pada Abad ke-7 SM, para pemimpin kota mengajukan petisi kepada penyair Thaletus untuk menyanyikan lagu-lagu pujian, dan Terpander (Terpandros), penyair Yunani Kuno yang terkenal, dipanggil saat wabah melanda Lesbos. Bahkan Pythagoras, pencipta teorema favorit bagi setiap anak sekolah, menggunakan musik sebagai alat terapi, ia memainkan kecapi untuk menenangkan para hooligan (penggila sepak bola) yang mabuk!

Oh, ya, ada juga aktivitas unik di Italia pada Abad Pertengahan, dimana ketika warganya mendengar informasi bahwa akan ada wabah dan diminta hati-hati, mereka berbondong-bondong pergi ke tempat suci untuk bernyanyi dan berdoa secara kolektif, menyebar frekuensi positif. Juga di tiap ruas-ruas jalan. Musik dan doa memberi pengharapan.

Ketika Wuhan tertimpa korona dan lockdown,ada muncul pekikan “Wuhan Jiāyóu! Wuhan Jiāyóu!”, yang artinya: “Ayolah, Wuhan!” (Wuhan Semangat!). Itu bukan pekikan biasa. “Pekikan itu simbol semangat”, ujar Remi Chiu, ahli musik dari Universitas Loyola. “Wuhan Jiāyóu” lantas menjadi lagu yang amat membekas bagi warga Wuhan, mudah dinyanyikan siapa saja.

“Musik memang mampu meluluhkan ego di saat masa karantina,” sambung Chiu. “Ketika Anda membuat musik dan menyebarkannya untuk menyemangati setiap orang, Anda telah mengabdikan diri Anda untuk komunitas/kelompok masyarakat yang lebih besar, itu artinya Anda tidak lagi egois,” tegasnya.

Relasi jiwa-raga, fisik dan psikis, atau apa pun itu istilahnya, adalah dua kutub yang senyatanya saling mendukung. Fisik yang kuat namun ditopang jiwa yang lemah akan mengakibatkan kejatuhan, cepat atau lambat! Fisik yang lemah bisa didorong agar tetap kuat dengan jiwa yang sehat.

Dalam konteks terapi musik, Anda akan menemukan banyak fakta mengenai keajaiban musik bagi jiwa manusia, bahkan sejak zaman Renaisans, setiap pasien yang berpotensi “lemah jiwa” selalu diajarkan seni, antara lain menari, bernyanyi, tertawa, bermain musik, supaya kelemahan itu tidak delay berlarut-larut. Untuk pasien kanker dan skizofrenia di zaman modern, musik berpotensi mengurangi kecemasan.

Tetaplah semangat!

Sejak fase-fase awal pandemi korona menjalar di Indonesia (pertengahan Maret 2020), ramai para musikus melakukan kolaborasi virtual di media sosial, hingga tercatat kolaborasi terkolosal sejauh ini adalah paduan suara virtual “Indonesia Menyanyi”, yang melibatkan 2758 penyanyi, menggabungkan 3615 video dan 436 paduan suara! Ada energi saling menyemangati yang terpancar di balik kolaborasi yang dipersembahkan Bandung Choral Society itu. Videonya di sini.

Saat ini dunia musik berbasis panggung dan kerumunan nyata memang tengah sekarat! Saya pun mengalami, beberapa jadwal panggung musik dan kolaborasi seni, setidaknya hingga Juli, tidak bisa dilangsungkan, alias dibatalkan! Selepas bulan itu juga belum tahu kepastiannya. Entah pekerja lapangan atau administratif  kompak mengeluhkan dampak yang sama dari pandemi korona ini. Industri musik khususnya, amat terpukul. Dampak gelobalnya baca ini.  

Di dalam pikiran kita (khususnya yang bekerja independen), memang sedang berjuang mencari berbagai cara untuk menemukan solusi pertahanan diri. Ada yang tetap bertahan “di jalur musik” dengan memanfaatkan tabungan darurat, tetap kreatif posting-posting,hingga tak jarang yang “hijrah” lalu jual sembako, makanan, pakaian, jual ini-itu, dan lain-lain, supaya tetap hidup! Tak sedikit pula yang berada di titik sulit dan benar-benar mengharapkan uluran tangan.

Namun betapa kita wajib untuk tetap bersyukur, bahwa musik masih selalu hadir intim dan hangat dalam mengisi lembar-lembar kesunyian sosial kita, mengisi kekosongan suasana hati, terlepas dari “musik sebagai urusan dompet.” Ini soal “musik adalah ilmu”, sebagai urusan jiwa, sebagai penyemangat, penyelamat.  

Musik, disadari atau tidak, berhasil menyuplai “nyawa cadangan” di tengah dampak pandemi, menjadi bahan bakar atau energi spiritual, agar kita tetap bertahan, berbagi, dan terus menyebarkan semangat satu dengan yang lain dengan berbagai cara. Meskipun semua itu masih ajeg terjadi (hanya) di dinding-dinding virtual.

Musik memungkinkan menjaga nyala api semangat itu, sebuah kemenangan yang indah dari peperangan yang absurd.

(Esai ini disarikan dan diinterpretasikan dari laporan berita The Guardian: https://www.theguardian.com/music/2020/apr/06/stayin-alive-how-music-fought-pandemics-2700-years-coronavirus), dirilis 6 April 2020.