Beberapa Indikasi Singkat Bahwa Musik Keroncong Memang Punya Potensi (Besar) untuk Menjadi Sumber Ilmu Pengetahuan

Di luar yang serba hiburan dan tren matra digital hari ini, musik keroncong masih punya potensi yang bweeeeeesar banget untuk digali pengetahuannya, entah itu terkait sejarah (tokoh, penyanyi, momen-momen penting), juga terkait pengetahuan seputar teknik bermain/bernyanyi, aransemen, garap komposisi, tata suara dan rekaman, artistik, organologi (acoustic, instrument craftsmanship), medan-medan digitalisasi dan penyebaran baru, manajemen event, hingga riset-riset mendalam yang berhubungan dengan proses kreatif para seniman (misalnya: bagaimana mengarang lagu yang “bermutu”, membangun komunitas di sebuah kota yang minim pendukung, metode ngajari anak-anak dan remaja kroncongan di komunitas dan sekolah, dan seterusnya).

Belum lagi uraian soal bagaimana Pemerintah turut serta bekerjasama mendukung musik keroncong—bukan semata demi eksistensi para seniman untuk pentas di panggung (yang cuma sesaat!) —melainkan bagaimana mempertajam musik keroncong sebagai nilai kebudayaan yang sangat berharga (selamanya) bagi Indonesia; juga bagaimana Pemerintah dan masyarakat sama-sama membangun pola kompetitif-sinergis yang berpotensi untuk mendukung stabilitas kesejahteraan di lingkup ekosistem musik keroncong. Kata “stabilitas kesejahteraan” menurut saya perlu digaris-bawahi sebagai pilihan diplomatis yang lebih lentur, ketimbang kata “peningkatan kesejahteraan” yang terasa masih klise.   

Tentu saja kita bersyukur atas jasa—salah satunya—Budiman BJ, yang mau secara sukarela menuliskan catatan sejarah, pengalaman, serta biografi singkat para tokoh keroncong melalui bukunya yang legendaris: Mengenal Keroncong dari Dekat (1979). Dari situ kita bisa mengetahui bahwa ada satu momen penting di mana pertama-kalinya kelompok-kelompok keroncong dari seluruh provinsi di Indonesia (kecuali Papua dan Irian Barat), berkumpul untuk berkompetisi. Itu bisa terwujud karena kolaborasi HAMKRI dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dewan Kesenian. Bukan kompetisinya yang penting, tetapi fakta itu menunjukkan bahwa musik keroncong sudah sejak cukup lama menyebar di berbagai penjuru Indonesia, lalu mereka (bisa) kumpul sama-sama di satu tempat.

Tak kurang dari 100 penelitian mengenai musik keroncong juga telah dilakukan, baik jurnal, skripsi, tesis master, hingga disertasi doktoral (dengan beragam topik dan sebaran wilayah penelitian). Fakta itu tentu saja menunjukkan bahwa musik keroncong memang diminati sebagai sumber ilmu pengetahuan.

Semua penelitian tersebut melengkapi apa yang telah ditulis sebelumnya oleh banyak peneliti lainnya (baik dari Indonesia maupun luar Indonesia) semenjak awal abad ke-20 hingga saat ini (sebut saja buku/tulisan-tulisan dari Manusama, Kusbini, Judith Becker, Philip Yampolsky, Harmunah, Haryadi Suadi, Victor Ganap, Triyono Bramantyo, Remy Sylado, Agoes Sriwidjadjadi, dan seterusnya).

Dengan demikian kita harus bangga bahwa semua itu adalah prestasi di bidang kebudayaan! Tak berlebihan juga rasanya jika keroncong itu disebut sebagai “peradaban” dengan kadar tertentu, tidak hanya sebuah genre atau bentuk musik. Musik keroncong adalah musik popular yang mampu teruji dalam kontinuitas produksi ilmu pengetahuannya; mengingat dalam 100 tahun terakhir perjalanan musik keroncong di Tanah Air—selain sebagai hiburan, juga tumbuh sebagai ilmu pengetahuan. Tanpa ilmu pengetahuan (dalam arti luas) yang terus dihidupi para seniman dan ekosistemnya, mustahil musik keroncong bertahan dan berkembang!

Sebagai penutup dari tulisan singkat ini saya ingin cerita dikit: Pada tahun 2008 silam saya pernah menulis untuk Majalah Seni Budaya “Gong”, meliput sebuah pentas keroncong dengan tajuk International Keroncong Festival yang diselenggarakan di kompleks Keraton Surakarta. Tulisan tersebut saya beri judul: BELAJAR OPTIMIS BERSAMA KERONCONG. Pengalaman menulis pentas itu sangat berkesan dan masih terus terngiang sampai hari ini, ya memang itu, yang kita butuhkan cuma itu: OPTIMIS! Bukan gosip-gosip yang (…………), isi saja sendiri…wkwk…hehehe…

Mengisi Webinar “Cinta Musik Keroncong”

Pada 9 Desember 2021, saya diminta mengisi webinar yang diselenggarakan oleh Prodi Sendratasik Universitas Negeri Semarang (UNNES). Tidak sendiri, saya ditemani sahabat saya Mas Ibnu Amar Muchsin.

Dalam webinar tersebut saya diminta memaparkan seputar pengetahuan teknik bermain alat musik keroncong. Tema ini cukup menantang dan mengingatkan saya pada puluhan tahun silam ketika saya pertama kali belajar memainkan ukulele/kencrung, dan kemudian mendalaminya. Di dalam musik keroncong, kita memang bisa mempelajari teknik-teknik yang terdapat di setiap instrumen, tak terkecuali teknik vokal keroncong yang terbilang khas.

Saya memberi judul presentasi saya: “Sekilas Teknik Permainan Musik Keroncong dan Fakta Pertumbuhan Apresiatif Musik Keroncong di Masa Kini”. Saya menyelidiki beberapa hal: (1) Apa yang mempengaruhi adanya teknik-teknik permainan yang berkembang di dalam musik keroncong?; (2) Sejauh apa teknik-teknik tersebut dipahami oleh setiap penabuh/penyanyi keroncong?; (3) Apa ciri-ciri informasi yang spesifik dari teknik permainan alat musik keroncong ini?

Dari beberapa pertanyaan umum tersebut saya menyimpulkan, bahwa: (1) Yang mempengaruhi adanya teknik-teknik yang berkembang di dalam musik keroncong antara lain adanya perlombaan/kompetisi yang memicu setiap pemain/penyanyi untuk memberikan yang terbaik, adanya klaim-klaim personal dari seniman/praktisi keroncong di mana pada akhirnya klaim tersebut menjadi legitimasi bagi kelompok maupun lingkungan di sekitarnya, lalu munculnya teknik juga dipengaruhi oleh adanya rekaman-rekaman musik yang menuntut setiap pemain untuk bermain/menyanyi dengan baik, karena rekaman akan dipublikasikan untuk selamanya; (2) Teknik di dalam musik keroncong dipahami oleh seniman keroncong dalam dua kerangka besar, yaitu pertama: Teknik Individu (tiap instrumen/vokal), dan Teknik di dalam Ansambel. Berdasarkan asumsi bahwa seterampil apapun setiap pemain memainkan alat musik, namun apabila ia tidak bisa menyesuaikan dengan pemain lain untuk mencipta keharmonisan, maka hasil musik yang dimainkan akan sia-sia, mengingat alat musik keroncong bukanlah instrumen solo. Para seniman mengasah keterampilan teknis bermain alat musik keroncong umumnya belajar secara otodidak/informal, karena belum ada satu pun kursus yang mengacu pada panduan standar seperti halnya dalam Musik Barat atau beberapa di Karawitan; (3) Ciri-ciri informasi spesifik dari teknik permainan alat musik keroncong adalah, bahwa teknik tersebut merupakan Pengetahuan Emik, jadi sifatnya sangat lokal (misalnya menggunakan istilah-istilah khusus yang dipahami oleh masyarakat tersebut, contoh: kentur, sintiran, ngglali dihapami oleh masyarakat Solo sebagai istilah yang menunjukkan jenis-jenis teknik). Di kota/tempat lain juga memiliki “penamaan istilah” yang berbeda-beda.

Silakan unduh materi PDF saya di sini.

Terimakasih, sampai jumpa kembali di forum-forum berikutnya.

ARSIP DJADUK DAN ARSIP KITA

(Catatan Pendek Sebelum Tidur) .

Khususnya kepada rekan-rekan saya seniman-seniman musik muda-muda dan produktif, atau siapa pun saja yang bersinggungan, ada baiknya untuk mulai “merancang biografi” kita sendiri sedari dini, atau minimal mengarsipkan pengalaman-karya menjadi dokumentasi yang mudah dilacak, bisa dipegang, tidak tergantung sinyal internet, serta terfolderisasi/tersimpan dengan struktur yang baik (baca: kronologis, atau jelas penanda item informasi/waktunya).

Saya ingin berbagi sedikit pengalaman. Ketika kami tahun lalu (2020) menulis biografi Djaduk Ferianto, kami takjub, karena kami menemukan sedikitnya 600 item kliping berupa liputan dan tulisan di media massa (sejak akhir 1960-an), ribuan foto, sekumpulan poster, booklet-booklet pertunjukan, dan arsip-arsip fisik lainnya. Tentu saja semua yang masih tersimpan dan terawat itu jadi sangat memudahkan kami untuk menelusuri informasi yang lebih detail selain informasi dari narasumber atau kerabat yang kami wawancara (ingatan sangat bisa meleset).

Di tengah gelombang informasi digital internet dengan kebiasaan unggah-unduh dan pengarsipan explorer yang mungkin serba random, sejujurnya kita makin sulit membaca jejak kekaryaan kita secara intim dan personal. Internet dan Media Sosial bisa menyelesaikan masalah di satu sisi sebagai penyimpanan global, tapi pengarsipan personal dalam bentuk fisik punya sifat lain. Kita juga tak bisa memastikan apakah website-website yang meliput kegiatan kita, juga akun-akun kita, bisa bertahan selamanya, tentu ada resiko yang mengikutinya: kena hack, bangkrut, lupa password, tidak bisa diakses, 404, dan “ancaman-ancaman” lain di luar prediksi kita.

Kami belajar banyak dari mendiang Djaduk soal perencanaan biografis sejak dini itu. Djaduk menyadari (sejak masih sangat muda), bahwa pengarsipan personal adalah sebuah kewajiban yang akan penting pada waktunya. Kini dalam berbagai bentuk pergeseran, kita bisa menemukan sendiri formula-formula pengarsipan yang pas untuk kita. Koran atau majalah fisik mungkin sudah tidak meliput kegiatan kita, tapi peluang-peluang lain pasti selalu ada.

Musik dan Kata: 2 Jenis “Makhluk” yang Enggak Pernah Bisa Akur

Sejauh menggeluti alam musik dan kata (bahasa) secara bersamaan, dan setelah kurenungi bertahun-tahun, dua makhluk itu: musik dan kata, memang tak pernah bisa akur. Sebab sejujurnya, musik terlalu sulit dibahasakan, terlalu sulit diterjemahkan begitu saja ke dalam kata-kata.

Ada contoh sederhana, ada seorang pengarang musik mengaku dapat ilham yang datang dari langit, lalu perasaannya mengalir begitu saja dan ia mampu membuat musik yang (dianggap) indah oleh banyak orang. Giliran mau diwawancarai untuk saya tulis, dan ketika ditanya tentang bagaimana prosesnya, ia cuma menjawab: “Saya tak tahu, itu sulit dijelaskan dengan kata-kata, coba kamu tafsirkan sendiri musik saya itu.” Giliran sudah saya tulis berdasarkan imajinasi, bekal pengetahuan dan pendengaran saya, si pengarang musik itu bilang: “Bukan, bukan begitu maksud saya!” Hmmm.. memusingkan! Dan itu, seperti kolom kecil di Harian Kedaulatan Rakyat, Sungguh-Sungguh Terjadi.

Maka saya penasaran dan mendorong si pengarang musik itu agar mau berbicara lebih gamblang, meskipun ia tampak kesulitan. Sampai akhirnya ia mengeluarkan satu kalimat panjang yang menurut saya cukup sulit dipahami, begini: “Saya menguasai teknik berkomposisi, tapi saya tak pernah bisa menguasai intuisi dan kejadian-kejadian lain di luar teknik-teknik yang kasat dan saya anggap mudah dipelajari itu. Saya juga tak pernah mampu menguasai bahasa untuk menjelaskan musik saya. Tapi saya bisa memaklumi, bahwa seribu kosa kata mungkin tak cukup untuk menjelaskan musik saya. Tapi jika ada satu kalimat saja yang Anda temukan dan ternyata itu tepat, itu akan menjadi satu-satunya.”

Okay. Saya ingin keadilan. Artinya, saya mau bagi porsi agar hak saya untuk mendapatkan informasi sebagai jurnalis bisa tercukupi. Saya mengejarnya lagi: “Lalu bagaimana cara menemukan kalimat yang tepat itu?” tanya saya. “Dengarkan musik saya seribu kali atau sampai Anda merasa bosan! Tantang diri Anda untuk tidak mengukurnya semata dengan rasa suka atau tidak suka, bukan juga dengan pesan di balik musik itu. Buatlah papan catur seluas-luasnya dan isi dengan ribuan kata-kata, pilihlah yang paling logis dan mewakili.”

Saya terhenyak. “Aneh sekali orang ini,” gumam saya.

Saya menyerah, pamit pulang, tapi diam-diam saya tetap mencoba mengikuti anjuran si pengarang musik itu. Mendengarkan musiknya berkali-kali sampai jenuh dan muntah, dan mencoba menemukan kata yang tepat untuk membahasakannya, sekuat tenaga dan pikiran.

Bulan berikutnya saya kembali lagi ke rumahnya untuk melaporkan apa yang saya alami. Tapi apa yang terjadi? Rumah itu telah kosong. Hanya ada sisa sebuah kursi roda, beberapa buku dan cd audio di perpustakaannya. Kata tetangga sebelah, ia telah meninggal dunia tiba-tiba karena serangan jantung; padahal saya sudah siap satu kalimat yang mungkin cocok untuknya, begini bunyinya: “Menikmati musik ini seperti menikmati pelangi yang muncul di tengah segala ambigu antara cahaya dan mendung. Ada terasa indahnya, namun juga sedikit kegelapan yang misteri. Ia melukis pelangi dengan penuh pemahaman tentang nirmana, susunan warnanya tampak tidak sembarangan. Namun ada yang aneh. Sayang musik ini terasa pendek, tak ada bagian klimaks atau terasa menggebu-gebu bergelora, tak ada bagian yang benar-benar memikat, meskipun menantang untuk terus diikuti dan tidak membuat bosan. Satu hal yang perlu dicatat, sepertinya kekuatan musik ini ada di bagian ritmenya, yang disusun secara kompleks, namun tetap terdengar sederhana dan mistis. Elemen-elemen lain hanya terasa sebagai pendukung, bahkan tak lebih dari sekadar kosmetik…”

Memberi Kuliah Kritik Musik di Prodi Karawitan, ISI Denpasar

Pada 9 dan 10 Juli 2021 yang lalu, saya diminta mengisi mata kuliah Kritik Musik untuk mahasiswa-mahasiswi Prodi Karawitan, Institut Seni Indonesia, Denpasar. Saya bisa hadir di dalam perkuliahan daring ini atas rekomendasi yang diberikan sahabat saya, I Wayan Diana (Terimakasih banyak!).

Kuliah ini merupakan bagian dari Program Merdeka Belajar yang dicanangkan Pemerintah melalui Kemdikbudristek. Hadir di dalam kuliah ini, selain mahasiswa, juga Bapak I Wayan Rai yang pernah menjabat sebagai Rektor ISI Denpasar, Bapak I Nyoman Kariasa, Bapak I Kadek Suartaya, Bapak I Wayan Sudirana, Bapak Saptono, dan beberapa dosen ISI Denpasar lainnya.

Kami banyak berbagi cerita seputar pengalaman menulis, apresiasi musik, kultur membaca, dan pengalaman-pengalaman spesifik seputar kritik musik. Diakui bersama bahwa aktivitas menulis, membaca, berdiskusi, memang sederet aktivitas yang tergolong “langka” dan kurang digemari. Mahasiswa memang menulis, membaca, dan berdiskusi, namun itu kebanyakan hanya demi kepentingan perkuliahan, seperti menyelesaikan tugas-tugas, dan bukan sebagai aktivitas yang tumbuh sebagai habit, melengkapi aktivitas praktik atau berpentas. Kelangkaan tersebut sebetulnya justru menjadi peluang yang menarik. Menjadi penabuh sekaligus penulis, why not? Menjadi komposer yang punya tulisan keren dan inspiratif, why not juga?

Sebelum melakukan aktivitas “kritik musik” dalam pengertiannya yang ideal (bukan caci maki atau hujatan, tapi apresiatif dan informatif!), kita selayaknya musti membangun habit menulis terlebih dulu secara intensif. Istilah saya, kita belajar BERSETUBUH DENGAN BAHASA, kita belajar MEMBANGUN HUBUNGAN EMOSIONAL DENGAN BAHASA.

Sejauh pengalaman saya, menulis itu memang bukan soal mudah. Apakah menabuh lebih mudah? Mungkin bisa dikatakan begitu dalam beberapa fakta.

Sebagai contoh: Ketika waktu SMA dulu saya diwajibkan belajar gamelan Jawa selama 2 semester (di SMK N 8 Solo), namun sebelumnya saya buta gamelan, karena latar saya adalah pemain band. Ketika guru saya menginstruksikan pada saya untuk menabuh saron, dengan panduan notasi yang sederhana, seketika itu juga saya langsung bisa. Artinya: bunyi, ritme, dan nadanya benar. Meskipun belum tentu bagus. Pengecualian memang untuk bisa bermain kendang, rebab, gender, bonang, gambang, yang memang perlu teknik-teknik khusus yang lebih detail dan memakan waktu lebih lama.

Akan tetapi menulis, tak “semudah” bermain saron itu, karena bukan semata aktivitas yang bisa dilakukan hanya dengan “menirukan contoh dari guru”, melainkan, menulis perlu melibatkan kerja pikiran dengan sistem-sistem yang lebih kompleks, misalnya menuntut imajinasi, ide, data, referensi, detail, perspektif, dan lain sebagainya. Dan semua itu, tidak bisa seketika seperti pengalaman saya menabuh saron.

Contoh serupa ketika saya belajar gitar genjrang-genjreng. Satu bulan belajar intensif langsung bisa mengiringi orang bernyanyi dan berani pentas. Satu bulan belajar menulis intensif? Belum tentu kita menghasilkan tulisan yang bagus, atau setidaknya informatif dan menarik dibaca. Begitulah. Dengan tidak mengatakan bahwa bisa menabuh saron atau gitar itu merupakan kerja “instan”, namun menabuh saron dan gitar itu memiliki struktur kerja syaraf yang lebih sederhana ketimbang menulis.

Untuk bisa menghasilkan tulisan (kritik) yang menarik, kadang-kadang saya perlu berpikir sebulan lamanya, hanya untuk berpikir saja, berpikir dalam berbagai kemungkinan eksplorasi (dengan membaca, berdiskusi, berimajinasi, merenung, memikirkan dampaknya, dan lain-lain). Itulah kira-kira yang saya sebut di dalam perkuliahan ini sebagai aktivitas PRA-KRITIK, yaitu segala piranti yang perlu kita persiapkan terlebih dahulu sebelum memulai aktivitas KRITIK. Sesudah menulis, kita juga masih dihadapkan dengan aktivitas PASCA-KRITIK, yaitu “menguji” sejauh apa yang kita tulis berkembang menjadi dialektika dan bahkan berhasil menjadi manfaat-manfaat yang nyata. Tiga tahapan tersebut tidaklah mudah.

Saya juga kurang tahu, apakah aktivitas KRITIK MUSIK masih diperlukan untuk saat ini dan di masa mendatang?

Abdi Suara Catharina

Catharina bukan sekadar piawai menyanyi, tapi mendidik penuh dedikasi

(Tulisan ini adalah resensi saya atas buku Catharina W. Leimena Menyanyi Indah untuk Negeri yang ditulis Ninok Leksono, Buku Kompas, 2020. Resensi ini sebelumnya telah dimuat di kompas.id pada tanggal 25 Agustus 2021).

Kapal Tristino Oceania membawa Catharina ke Roma. Total 18 hari waktu tempuh di laut itu. Melewati Terusan Suez jam 2 dini hari, hingga akhirnya tiba di Pelabuhan Napoli. Catharina menjemput kenyataan dari mimpi yang diidamkannya sejak remaja: Belajar vokal di Italia.

Dikisahkan di buku ini sebuah momen di dekade 1950-an. Catharina terinspirasi film yang dibintangi Elizabeth Taylor. Film itu menggambarkan situasi belajar vokal di Konservatorium St. Cecilia di Roma. Gayung bersambut di tahun 1959, mimpi dan doa Cathrin terkabul. Prof. Priyono, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, menawarkan Cathrin beasiswa untuk belajar vokal di Italia.

Pengumuman resmi dari Kantor Berita Antara perihal keberangkatannya ke Italia bersama 9 penerima beasiswa lainnya, masih ia simpan rapi dan termuat pula di buku ini. “Itu memang sudah menjadi mimpi saya” (hal. 17, 20). Jadilah ia berlayar ke surga opera itu. Kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pun ia tinggalkan begitu saja.

Sosok yang Beruntung

Cathrin memang sosok beruntung. Ia puteri dari dr. Johannes Leimena, seorang menteri paling jujur di era Soekarno. Namun bukan karena karunia dari langit itu lantas Cathrin moncer begitu saja. Masa-masa awal perjuangan karirnya penuh pergolakan batin, ditambah situasi politik Indonesia 1960-an yang serba berkecamuk.

Setelah 6 tahun belajar dengan banyak maestro di Accademia Nazionale di Santa Cecilia, Roma, dilanjutkan ke Konservatorium Giuseppe Verdi di Milan, 1965 Cathrin lulus. Tahun 1966 Cathrin memutuskan menikah dengan dr. Anton Warsadi Wiriadinata yang sudah cukup lama dikenalnya.

Bisa dikatakan, momentum Cathrin belajar di Italia dan momentum menikah lalu merintis karir di Indonesia, adalah dua fase pertama perjalanan Cathrin sebagai abdi bangsa di dunia menyanyi seriosa dan opera. Cathrin mulai aktif menyanyi di beberapa kota, antara lain Bandung, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta. 1969 mendirikan Sanggar Susvara, yang kemudian berkembang menjadi Susvara Opera Company. Lambat laun fokus dan pilihan dedikasinya adalah di dunia pendidikan.

Cathrin terbukti berhasil melahirkan generasi penyanyi hebat, baik di bidang musik klasik (seriosa, opera), maupun di bidang musik populer. Avip Priatna, Aning Katamsi, Binu Sukaman, Joseph Kristanto, adalah beberapa contoh murid sukses yang tersebut di buku ini. Di skena musik populer, Krisdayanti dan Gita Gutawa adalah dua contoh muridnya yang berhasil. “Ibu Catharina bagi saya adalah maha-guru, bukan sekadar guru,” ujar Krisdayanti.

Bab VI buku ini (hal. 61) menjadi penekanan tersendiri karena isinya bisa diterapkan oleh siapa saja yang ingin menekuni dunia tarik suara. Cathrin menjelaskan soal Tessitura, yang artinya kurang lebih “jangkauan rata-rata sebuah lagu atau suara.” Pesannya kepada penyanyi yang belajar: agar menyadari kemampuan alaminya, “kembali ke alam”, namun juga mengembangkannya semaksimal mungkin, tanpa harus memaksakan batas kemampuan (hal. 64).

Abdi Suara Catharina

Buku 13 bab dengan total 216 halaman yang ditulis Ninok Leksono ini memiliki kekuatan naratif yang sangat baik untuk menjelaskan sosok Cathrin dari berbagai aspek, baik riwayat karir dalam bentangan yang luas, personalitas (sikap dan filosofi hidup), kesaksian tulus keluaga dan para sahabat.

Tak hanya itu, buku ini juga didukung referensi-referensi yang memadai dan kontekstual untuk menjelaskan seluk-beluk opera maupun seni vokal. Tak kurang 8 buku tentang Opera yang dijadikan rujukan oleh Ninok. Dengan demikian buku ini menjadi sangat informatif.

Di dalam buku ini kita juga bisa menyaksikan tak kurang dari 103 gambar-gambar bersejarah yang mempunyai nilai informasi tersendiri dan otentik, mulai dari potret keluarga, pengalaman pentas, poster-poster, dan menarik pula ada sebuah foto ketika Cathrin menari lenso bersama Bung Karno di Roma. Ah, semua itu masih tersimpan dengan baik, dan itu merupakan bukti bahwa Cathrin juga merupakan pengarsip yang baik.

Melewati puluhan tahun eksistensi (lebih dari 70 tahun semenjak aktif menyanyi), dengan berbagai gelombang yang dihadapi Cathrin, bukanlah perkara mudah. 1982, setelah 16 tahun menikah, suami Cathrin meninggal dunia, dan Cathrin harus membesarkan anak-anaknya seorang diri di tengah kesibukan Bandung-Jakarta untuk mengajar. Begitu pun ketika Cathrin terkena tumor dan musti menjalani operasi. Ia percaya mukjizat Tuhan. Ia teguh menjalani. Hadirnya buku ini pun, yang semestinya rilis untuk memperingati 80 tahun Cathrin, terpaksa harus ditunda karena banyak hal. Cathrin sabar menanti, dan akhirnya selesai juga.

Bayangkan saja, pada usia 84 tahun, Cathrin masih lantang berbagi ilmu secara daring di masa pandemi corona ini. Cathrin masih memiliki ingatan dan pendengaran yang teramat baik untuk seorang manusia yang telah melewati perjalanan panjang kehidupan, tidak lagi pahit dan manis, namun aneka rasa. Keluarga terdekat, kolega, murid, semua bangga dan sangat menghormati keteguhan musikal dan hidup seorang Catharina Leimena.   

Prof. Toeti Heraty Roosseno menyebut di buku ini bahwa Cathrin telah mencapai Live Time Achievement. “Ia melewati lebih dari kodrat rata-rata usia orang Indonesia perempuan, yang umumnya hanya mencapai 74 tahun,” ujarnya (hal. 160).

“Jangan berhenti di saya”

“Semoga semua terus bergairah. Jangan berhenti di saya. Semua harus menghasilkan penyanyi-penyanyi untuk masa mendatang,” pesan Cathrin yang tentu secara spesifik ditujukan pada pewaris-pewaris ilmu dan semangatnya membina seni vokal di Indonesia.

Buku ini, alangkah baiknya, juga dibaca oleh penyanyi-penyanyi muda, tidak hanya di lingkup musik klasik, seriosa, atau opera saja, namun juga (calon) penyanyi untuk semua jenis musik. Relevan, menurut saya, di tengah maraknya penyanyi-penyanyi instan zaman digital saat ini—di mana mereka kurang memedulikan teknik bernyanyi, bahkan menisbikan perjuangan kecuali ingin viral dan ingin uang—maka buku ini hadir sebagai penyeimbang yang membawa pesan cerah dan mulia.  Buku ini adalah alarm yang tajam untuk mengingatkan pentingnya martabat seorang penyanyi dijaga sekuat jiwa.

Mengurai Sisi Sainstifik Musik di dalam Ilmu Kontrapung

Buku ini memaparkan dengan lugas dan tangkas apa yang dibutuhkan mahasiswa musik, penata musik, komposer, serta peminat seluk-beluk keterampilan teoretika di dalam penyusunan musik melalui Ilmu Kontrapung. Pembelajaran Ilmu Kontrapung menunjukkan bahwa di dalam musik terdapat elemen-elemen sainstifik yang logis dan sistematik.   

Buku Ilmu Kontrapung rilisan Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta (2021).

Kilas Balik: Sebuah Kenangan

Ketika membaca lembar-lembar awal buku ini, saya jadi teringat pengalaman berharga yang saya alami pada tahun 2004, sekitar 17 tahun yang lalu. Ketika itu saya adalah mahasiswa S1 di ISI Yogyakarta dengan minat Musikologi.  Di dalam kurikulum perkuliahan musikologi, selain kami mempelajari sejarah dan kajian repertoar musik dari berbagai zaman—termasuk praktik musik klasik—kami juga diwajibkan mengambil mata kuliah Ilmu Kontrapung, dan pengampunya adalah Prof. Victor Ganap, salah satu kontributor buku ini.

Layaknya jatuh cinta pada pandangan pertama, mengikuti kuliah Ilmu Kontrapung langsung membuat saya terkesima. Pak Victor adalah dosen yang disiplin serta memiliki kemampuan transfer pengetahuan yang sangat baik. Saya makin tertarik. Saking tertariknya, saya pun mencatat dengan cermat dan detail setiap materi yang disampaikan oleh beliau (catatan tersebut masih saya simpan sampai sekarang). Sebagian dari isi buku ini juga merupakan materi yang disampaikan Pak Viktor waktu itu. 

Tapi saya menyesal, ketika berkuliah di ISI Yogyakarta, saya belum pernah merasakan pengalaman diampu oleh Romo Prier. Beliau sudah tidak mengajar lagi di sana. Namun saya tidak pernah kelewatan untuk mengoleksi karya-karya ilmiah yang ditulis Romo Prier. Saya hanya membayangkan, jika saya dipertemukan dengan Romo Prier waktu itu, mungkin pengetahuan saya tentang musik akan menjadi lebih lengkap, karena beliau—yang juga menjadi kontributor buku ini—adalah salah satu sosok idola yang berwawasan luas, berdedikasi tinggi, dan konsisten terhadap perkembangan ilmu pengetahuan musik, baik dalam konteks Gereja Katolik maupun di lingkungan akademik dan masyarakat.

Mengapa pengalaman 17 tahun silam tersebut begitu berharga bagi saya? Karena pada saat itulah pertama kalinya saya mengenal musik sebagai sebuah sains (ilmu pengetahuan yang logis dan sistematik, layaknya mempelajari matematika sebagai ilmu pasti), bukan hanya ekspresi seni yang subjektif saja.

Hubungan matematika dan musik memang sudah berlangsung sejak masa Yunani Kuno. Di dalam buku A Geometry of Music: Harmony and Counterpoint in The Extended Common Practice (Dmitri Tymoczko, 2011) disebutkan, bahwa di dalam rentang berbagai fase sejarah musik sejak dulu hingga kini, musik tidak bisa kita lepaskan dari matematika atau unsur-unsur yang logis (terdapat rumus-rumus yang absolut, dan unsur-unsur yang terukur, bahkan pasti), namun—tentu saja—fleksibel dalam ekspresi, untuk tetap mengikat musik sebagai sebuah seni. Apa yang kita mainkan hari ini—menurut buku tersebut—telah terjadi ratusan bahkan ribuan tahun silam, kita terus mengulang, memaknai kembali, namun dalam konteks maupun interpretasi yang terus berubah dan berkembang. Semua itu karena kita juga mewarisi kebudayaan musik sebagai sebuah fakta maupun ilmu yang dinamis.

Di dalam Ilmu Kontrapung ada peraturan-peraturan tertentu yang serba ketat dan kemungkinan bisa menghambat kebebasan berekspresi secara natural. Ilmu Kontrapung menuntut kita untuk disiplin, namun kita harus ingat pula bahwa di dalam ekspresi musik selalu ada tarik-ulur antara unsur-unsur intuitif maupun rasional, di mana keduanya selalu menantang dan menarik untuk diposisikan secara seimbang atau saling melengkapi.  

Tentang Buku ini

Buku ini terdiri dari tiga bagian besar, yaitu Ilmu Kontrapung Tonal (hal. 7-44), Ilmu Kontrapung Modal (hal. 45-114), dan Teknik Kontrapung Paul Widyawan (hal. 86-121). Bagian pertama ditulis oleh Victor Ganap, lalu bagian kedua dan ketiga ditulis oleh Romo Prier. Bagian pertama dan kedua mengetengahkan informasi (pelajaran berikut latihan) Ilmu Kontrapung sebagai salah satu disiplin teoretikal musik yang fungsional untuk keperluan penyusunan musik (baik aransemen maupun komposisi), dan bagian ketiga lebih memaparkan analisis atas teknik kontrapung yang dipakai Paul Widyawan.

Dijabarkan di buku ini dua pengertian mendasar tentang apa itu kontrapung: (1) Teknik komposisi musik polifon, di mana suatu lagu pokok (cantus firmus) dilengkapi dengan satu atau beberapa lagu yang secara melodis dan ritmis berdiri secara mandiri, namun tetap cocok satu dengan yang lain, hingga semua suara bersama-sama membentuk suatu komposisi; (2) Kontrapung adalah istilah “lagu pelengkap” untuk sebuah melodi yang sudah ada (disebut juga cantus firmus) dan disusun menurut peraturan-peraturan ilmu Kontrapung (hal. 45).  

Menurut sejarahnya, Kontrapung dalam Modus Gereja dipopulerkan oleh Giovanni Pierluigi da Palestrina (1525-1594) dari Italia pada periode Renaisans (Abad Ke-16), sedangkan kontrapung untuk instrumental diciptakan oleh Johann Sebastian Bach (1685-1750) dari Jerman, pada periode Barok (Abad ke-17). Kedua jenis kontrapung merupakan musik gaya Polifonik, di mana Kontrapung vokal menggunakan tangganada Gereja, sedangkan Kontrapung instrumental menggunakan tangganada Diatonik. Aabila Palestrina berhasil menciptakan Missa Papae Marcelli yang Eklesiatik sehingga Gereja Katolik Roma mengadaptasi musik Polifonik selain Monofonik, maka penemuan Bach telah melahirkan sistem diatonik yang terdiri dari 24 Tonal Mayor (12# + 12b) dan 24 Tonal Minor (12# + 12b) yang bisa kita dengar melalui 48 Prelude-Fugue dalam Das Wohltemperirte Clavier (hal. 7-8).

Pada bagian pertama buku ini diketengahkan materi pembelajaran yang berisi teknik-teknik kontrapung tonal, yaitu bagaimana menyusun Struktur Melodi Satu Berbanding Satu, Satu Berbanding Dua, Satu Berbanding Empat, serta dilengkapi penjelasan mengenai Komposisi Melodi Polifonik dan Komposisi Musik Polifonik dengan contoh karya Invention dari Ichiro Mononobe.

Bagian kedua terasa lebih luas namun berfokus pada penjelasan mengenai Ilmu Kontrapung Modal. Pada bagian kedua ini, di antaranya, diketengahkan mengenai Sistem Nada Musik Abad Pertengahan, Jenis-Jenis Interval Abad Pertengahan, Tangga Nada Modal/Gregorian, Lagu-Lagu Modal Barat, Sejarah Ilmu Kontrapung (hal. 45-50), diikuti dengan teknik menyusun kontrapung dalam dua suara (hal. 54-69) dengan contoh-contoh implementatif yang bisa langsung dipraktikkan.

Menarik sekali menyimak sub-bagian buku ini yang berjudul Penerapan Peraturan-Peraturan Ilmu Kontrapung pada Lagu Tradisional Indonesia (hal. 70), dan Cara Menangani Lirik dalam Kontrapung (hal. 101), disisipi pula di bagian ketiga analisis teknik kontrapung Paul Widyawan yang menjadi wawasan tersendiri. Beberapa sub-bagian tersebut membuka pengetahuan baru terkait aplikasi Ilmu Kontrapung yang lebih kontekstual dan terbuka, karena umumnya Ilmu Kontrapung bersumber dari sistematika musik Barat, dan lebih sering dipakai untuk menyusun musik-musik instrumental.  

Disiplin Ilmu Kontrapung memang sangat terikat dengan penguasaan atas keterampilan membaca dan menulis dalam notasi balok. Sebab itu memang dibutuhkan kemampuan tersebut terlebih dahulu sebelum mempelajari tiap materinya. Tidak mengherankan pula bahwa buku ini lebih banyak berisi contoh-contoh pelajaran yang diketengahkan ke dalam notasi balok, dengan didukung sedikit narasi (teks) demi memberi informasi dan memudahkan pemahaman.

Penutup

Kedua penulis buku ini, baik Victor Ganap maupun Romo Prier, adalah sosok yang tidak diragukan lagi keahliannya dalam disiplin Ilmu Kontrapung. Buku ini tentu saja sangat penting untuk memberi pemahaman mendasar namun komprehensif mengenai Ilmu Kontrapung khususnya yang berkembang pada kurun modus Gereja Katolik, Renaisans, dan Barok, dilengkapi juga teknik penyusunan kontrapung pentatonik yang merupakan khazanah tersendiri. Kiranya ke depan perlu ada juga buku-buku lanjutan yang mengetengahkan Ilmu Kontrapung Modern hingga pada perkembangan terkini.

Resensi ini telah dimuat di Majalah Warta Musik Edisi Juni 2021.

Sarasehan Bareng Tim Lomba Inovasi Musik Nusantara (Linmtara) 2021

23 Juni 2021 saya ikut bergabung sebagai salah satu narasumber di sarasehan online bersama tim dari LINMTARA (Lomba Inovasi Musik Nusantara). Lomba tersebut adalah ajang kreativitas yang diperuntukkan bagi siapa saja yang tertarik dan ingin berkompetisi dengan mengusung garapan-garapan musik yang bersumber dari tradisi musik Nusantara yang kaya.

Info lengkap mengenai lomba klik di sini.