Abdi Suara Catharina

Catharina bukan sekadar piawai menyanyi, tapi mendidik penuh dedikasi

(Tulisan ini adalah resensi saya atas buku Catharina W. Leimena Menyanyi Indah untuk Negeri yang ditulis Ninok Leksono, Buku Kompas, 2020. Resensi ini sebelumnya telah dimuat di kompas.id pada tanggal 25 Agustus 2021).

Kapal Tristino Oceania membawa Catharina ke Roma. Total 18 hari waktu tempuh di laut itu. Melewati Terusan Suez jam 2 dini hari, hingga akhirnya tiba di Pelabuhan Napoli. Catharina menjemput kenyataan dari mimpi yang diidamkannya sejak remaja: Belajar vokal di Italia.

Dikisahkan di buku ini sebuah momen di dekade 1950-an. Catharina terinspirasi film yang dibintangi Elizabeth Taylor. Film itu menggambarkan situasi belajar vokal di Konservatorium St. Cecilia di Roma. Gayung bersambut di tahun 1959, mimpi dan doa Cathrin terkabul. Prof. Priyono, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, menawarkan Cathrin beasiswa untuk belajar vokal di Italia.

Pengumuman resmi dari Kantor Berita Antara perihal keberangkatannya ke Italia bersama 9 penerima beasiswa lainnya, masih ia simpan rapi dan termuat pula di buku ini. “Itu memang sudah menjadi mimpi saya” (hal. 17, 20). Jadilah ia berlayar ke surga opera itu. Kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pun ia tinggalkan begitu saja.

Sosok yang Beruntung

Cathrin memang sosok beruntung. Ia puteri dari dr. Johannes Leimena, seorang menteri paling jujur di era Soekarno. Namun bukan karena karunia dari langit itu lantas Cathrin moncer begitu saja. Masa-masa awal perjuangan karirnya penuh pergolakan batin, ditambah situasi politik Indonesia 1960-an yang serba berkecamuk.

Setelah 6 tahun belajar dengan banyak maestro di Accademia Nazionale di Santa Cecilia, Roma, dilanjutkan ke Konservatorium Giuseppe Verdi di Milan, 1965 Cathrin lulus. Tahun 1966 Cathrin memutuskan menikah dengan dr. Anton Warsadi Wiriadinata yang sudah cukup lama dikenalnya.

Bisa dikatakan, momentum Cathrin belajar di Italia dan momentum menikah lalu merintis karir di Indonesia, adalah dua fase pertama perjalanan Cathrin sebagai abdi bangsa di dunia menyanyi seriosa dan opera. Cathrin mulai aktif menyanyi di beberapa kota, antara lain Bandung, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta. 1969 mendirikan Sanggar Susvara, yang kemudian berkembang menjadi Susvara Opera Company. Lambat laun fokus dan pilihan dedikasinya adalah di dunia pendidikan.

Cathrin terbukti berhasil melahirkan generasi penyanyi hebat, baik di bidang musik klasik (seriosa, opera), maupun di bidang musik populer. Avip Priatna, Aning Katamsi, Binu Sukaman, Joseph Kristanto, adalah beberapa contoh murid sukses yang tersebut di buku ini. Di skena musik populer, Krisdayanti dan Gita Gutawa adalah dua contoh muridnya yang berhasil. “Ibu Catharina bagi saya adalah maha-guru, bukan sekadar guru,” ujar Krisdayanti.

Bab VI buku ini (hal. 61) menjadi penekanan tersendiri karena isinya bisa diterapkan oleh siapa saja yang ingin menekuni dunia tarik suara. Cathrin menjelaskan soal Tessitura, yang artinya kurang lebih “jangkauan rata-rata sebuah lagu atau suara.” Pesannya kepada penyanyi yang belajar: agar menyadari kemampuan alaminya, “kembali ke alam”, namun juga mengembangkannya semaksimal mungkin, tanpa harus memaksakan batas kemampuan (hal. 64).

Abdi Suara Catharina

Buku 13 bab dengan total 216 halaman yang ditulis Ninok Leksono ini memiliki kekuatan naratif yang sangat baik untuk menjelaskan sosok Cathrin dari berbagai aspek, baik riwayat karir dalam bentangan yang luas, personalitas (sikap dan filosofi hidup), kesaksian tulus keluaga dan para sahabat.

Tak hanya itu, buku ini juga didukung referensi-referensi yang memadai dan kontekstual untuk menjelaskan seluk-beluk opera maupun seni vokal. Tak kurang 8 buku tentang Opera yang dijadikan rujukan oleh Ninok. Dengan demikian buku ini menjadi sangat informatif.

Di dalam buku ini kita juga bisa menyaksikan tak kurang dari 103 gambar-gambar bersejarah yang mempunyai nilai informasi tersendiri dan otentik, mulai dari potret keluarga, pengalaman pentas, poster-poster, dan menarik pula ada sebuah foto ketika Cathrin menari lenso bersama Bung Karno di Roma. Ah, semua itu masih tersimpan dengan baik, dan itu merupakan bukti bahwa Cathrin juga merupakan pengarsip yang baik.

Melewati puluhan tahun eksistensi (lebih dari 70 tahun semenjak aktif menyanyi), dengan berbagai gelombang yang dihadapi Cathrin, bukanlah perkara mudah. 1982, setelah 16 tahun menikah, suami Cathrin meninggal dunia, dan Cathrin harus membesarkan anak-anaknya seorang diri di tengah kesibukan Bandung-Jakarta untuk mengajar. Begitu pun ketika Cathrin terkena tumor dan musti menjalani operasi. Ia percaya mukjizat Tuhan. Ia teguh menjalani. Hadirnya buku ini pun, yang semestinya rilis untuk memperingati 80 tahun Cathrin, terpaksa harus ditunda karena banyak hal. Cathrin sabar menanti, dan akhirnya selesai juga.

Bayangkan saja, pada usia 84 tahun, Cathrin masih lantang berbagi ilmu secara daring di masa pandemi corona ini. Cathrin masih memiliki ingatan dan pendengaran yang teramat baik untuk seorang manusia yang telah melewati perjalanan panjang kehidupan, tidak lagi pahit dan manis, namun aneka rasa. Keluarga terdekat, kolega, murid, semua bangga dan sangat menghormati keteguhan musikal dan hidup seorang Catharina Leimena.   

Prof. Toeti Heraty Roosseno menyebut di buku ini bahwa Cathrin telah mencapai Live Time Achievement. “Ia melewati lebih dari kodrat rata-rata usia orang Indonesia perempuan, yang umumnya hanya mencapai 74 tahun,” ujarnya (hal. 160).

“Jangan berhenti di saya”

“Semoga semua terus bergairah. Jangan berhenti di saya. Semua harus menghasilkan penyanyi-penyanyi untuk masa mendatang,” pesan Cathrin yang tentu secara spesifik ditujukan pada pewaris-pewaris ilmu dan semangatnya membina seni vokal di Indonesia.

Buku ini, alangkah baiknya, juga dibaca oleh penyanyi-penyanyi muda, tidak hanya di lingkup musik klasik, seriosa, atau opera saja, namun juga (calon) penyanyi untuk semua jenis musik. Relevan, menurut saya, di tengah maraknya penyanyi-penyanyi instan zaman digital saat ini—di mana mereka kurang memedulikan teknik bernyanyi, bahkan menisbikan perjuangan kecuali ingin viral dan ingin uang—maka buku ini hadir sebagai penyeimbang yang membawa pesan cerah dan mulia.  Buku ini adalah alarm yang tajam untuk mengingatkan pentingnya martabat seorang penyanyi dijaga sekuat jiwa.