Refleksi Keroncong Indonesia Masa Kini

Dimulai dari Masa Lalu

Roep der Verten – Krontjong van Roots Naar Revival, ditulis Lutgard Mutsaers (2014), adalah judul sebuah buku setebal 559 halaman yang menarik dan padat informasi. Buku ini membicarakan sejarah keroncong di masa Hindia-Belanda dan momen-momen “kebangkitan” keroncong di Belanda semasa repatriasi, pasca kemerdekaan Indonesia.

Buku ini menyertakan, salah satunya, rekaman lagu Kaloe Tida Sababnja Boelan (dinyanyikan Mevrouw Knaap), produksi Odeon (1904), disamping 23 lagu keroncong lainnya dari berbagai kurun masa. Rekaman dari Odeon itu diklaim sebagai salah satu rekaman tertua dalam riwayat keroncong. Komedie Stanboel—sebagai teater populer zaman dulu—juga menjadi ikon primer dalam sejarah keroncong, tertulis pula kisahnya secara apik di buku itu. Tidak berlebihan jika keroncong di zaman Hindia-Belanda adalah musik paling digemari. Misalnya fakta tentang krontjong concours (lomba keroncong) yang mampu menjadi magnet bagi puluhan ribu orang di Pasar Malam, menciptakan superstar syndrome.

Selain bangsa Portugis yang mengenalkan cavaquinho (gitar kecil mirip ukulele/cuk) pada abad ke-16­, juga lagu-lagu ratapan-melankolik dengan akor sederhana yang disebut fado, kita memang musti memperhitungkan Hindia-Belanda—dengan banyak sekali momentum dan tokohnya—sebagai episentrum besar yang turut membentuk estetika musik keroncong yang terwariskan hingga kini.

Beruntung kemudian muncul Kusbini sebagai “oposan”, yang mengukuhkan keroncong khas Indonesia dengan sebutan Moretsko Indonesia. Kusbini menggubah lagu Kr. Moretsko (1935), yang sangat dikenal di kalangan penggemar keroncong sebagai “keroncong asli”. Philip Yampolsky (2010) menyebut bahwa kata “asli” setelah “keroncong” itu bukan bermakna sebagai otentisitas/orisinalitas/representasi ke-asli-an, namun hanya sebuah penanda/pembeda dengan bentuk lain seperti langgam atau langgam Jawa.

Melalui sentuhan karya dan ide-ide Kusbini, keroncong di Indonesia sebetulnya juga telah mengalami revivalisasi fase ke-sekian, setelah Portugis dan Hindia-Belanda. Kita tentu ingat dengan momen kompetisi Bintang Radio dekade 1950an, di mana “Sang Buaya Keroncong” ini juga mengarang lagu secara khusus untuk dilombakan di ajang itu. Muncul aturan ketat layaknya disiplin musik Barat untuk membawakan lagu keroncong, sehingga keroncong menjadi ber“pakem”—sarat teknik.

Tak hanya Kusbini, komunitas Toegoe di Jakarta juga menjadi “oposan” lain yang menciptakan “tafsir estetikanya” sendiri atas musik keroncong; juga Gesang, R. Maladi, Ismail Marzuki, Kelly Puspita, yang menawarkan ke-bersahaja-an dan tema kehidupan yang luas melalui lagu-lagunya; Jenderal Rudi Pirngadi (1960an) mengusung konsep “keroncong beat”—karena ia yakin bahwa “keroncong” itu hanya medium/alat musik saja, maka bebas untuk main lagu apa saja—ide “Sang Jenderal” ini tentu ditentang oleh kalangan “pakem”.

Partikel revivalisasi lain: Ki Nartosabdo mempertemukan keroncong dan gamelan sebagai “bibit unggul” lahirnya campur sari; Budiman BJ mengusung lagu-lagu patriotik; Andjar Any menelurkan banyak lagu langgam Jawa yang fenomenal; Radio Orkes Surakarta dan Orkes Bintang Surakarta dengan inovasi teknik dan tabuhan—memunculkan wacana identifikasi “keroncong gaya Solo-an”; Djaduk Ferianto melalui “Orkes Sinten Remen” yang khas mengemas keroncong berlirik parodikal-satire, hingga Bondan Fade2Black dengan Kroncong Protol; dan contoh lain yang bisa Anda tambahkan sendiri sebagai partikel-partikel revivalisasi keroncong di Indonesia dalam satu abad.

Masa Kini dan Sesudahnya

Penanda dari eksistensi keroncong, menurut saya, hanya ada dua. Pertama, keroncong tetap dimainkan dalam konteks romantisme (pelestarian), mengulang kembali lagu-lagu masa lalu; dan kedua, keroncong sebagai medium dan modal kreativitas untuk mengekspresikan karya-karya baru—dalam berbagai bentuk ansambel, tak terkecuali band.

Semua yang bersinggungan dengan romantisme masih sangat dianggap penting oleh pendukung musik keroncong; sementara di sisi lain, lagu-lagu baru yang diciptakan masih harus terus digenjot dan dipromosikan, karena kuantitas lagu baru keroncong yang berhasil “digoreng” (viral)—sejujurnya—bisa dikatakan masih sangat minim.

Paksiband, sebuah band keroncong dari Jogja yang berani menawarkan “keroncong konseptual” berbasis riset atas sastra Jawa (composing research-based) dengan menyuarakan isu-isu realisme sosial—dapat diamati sebagai salah satu temuan modal kreativitas yang menarik. Albumnya yang bertajuk “Panen Raya” ini juga bisa menjadi pemicu (trigger) bagi individu atau kelompok lainnya untuk makin meningkatkan produktivitas lagu-lagu baru keroncong yang dikonsep dengan sungguh-sungguh.  

Kos Atos, band keroncong dari Malang, baru-baru ini juga merilis album keenamnya, “Orkes is Dead”, masih dalam semangat urban yang khas. Itu juga bisa menjadi pemicu kemungkinan bentuk ekspresi masa kini lainnya. Belum lagi karya-karya dari Sir Iyai di Bandung, Keroncong Pemuda Kekinian di Salatiga, Sinten Remen dan Sri Redjeki di Jogja, hingga Stamboel Fajar di Belitung, dan lain-lain. Masing-masing bisa diamati sebagai fragmen-fragmen dari modal kreativitas yang beraneka bagi pertahanan eksistensi keroncong di luar romantisme.

Saat ini adalah momen yang (paling) pas untuk makin memecut produktivitas karya-karya baru keroncong, mempromosikannya, memikirkan daya saingnya (competitiveness), memikirkan strategi pemasaran dan kebudayaannya, warisan pengetahuannya. Skena keroncong saat ini masih belum surplus musisi padahal sedang banyak demand untuk dunia hiburan, regenerasi tentu masih sangat penting. Kuratorial atas event atau festival keroncong juga masih bisa dipertajam. Belum banyak pula filantropis, promotor, sponsor yang royal, padahal keroncong ini sebenarnya genre potensial. Catatan kritis pamungkas: Kita tak perlu lagi terbelenggu dengan pergunjingan klasik/modern, asli/tidak asli, pakem/tidak pakem, band/bukan band, dan beban sentimentil-emosional antar personal atau kelompok, karena semua itu justru akan menghancurkan masa depan keroncong. Terakhir banget:Mari berkarya dan berdebat ide kreatif saja!

//

Artikel ini telah dimuat di Harian Jawa Pos, 16 Juli 2023. Atas pemuatan artikel ini saya menghaturkan terimakasih kepada Mas Diar Candra dan Mas Paksi Raras Alit.

Tautan digital: https://www.jawapos.com/halte/011774946/refleksi-keroncong-indonesia-masa-kini