Wayang Kulit, Makna, dan Telinga

Dari kiri-kanan: Ki Sigid Ariyanto (Dalang), Dedek Wahyudi (Pengrawit, Komponis), dan Denny Kumoro Try Sasandy (Audio Engineer, Pengrawit)

Topik diskusi mengenai wayang kulit (pakeliran) dalam konteks cerita, gaya sajian dalang, iringan (gendhing-gendhing-nya),maupun pesan (tuntunan), relatif sering dibicarakan. Namun membahas pakeliran dalam konteks auditif—bagaimana pergelaran wayang kulit mampu “didengarkan” secara baik/tertata apik sistem pengeras suaranya—adalah topik yang jarang sekali dibahas. Beruntung, Taman Budaya Jawa Tengah beberapa hari lalu (21/06/23) mengadakan seminar dengan tema spesifik: “Audio dalam Pakeliran (Wayang Kulit)”.  

Tema tersebut berangkat dari adanya permasalahan mengenai sulitnya menemukan formula konseptual maupun teknis yang solid bagi pe-nata-an suara untuk pergelaran wayang kulit. Beda ruang pertunjukan akan beda spesifikasi perangkat tata suaranya (misalnya di Pendhapa, ruangan beton tertutup,maupun lapangan besar); Beda dalang juga beda treatment-nya; belum yang lain lagi: Beda audio engineer akan beda pula rumus-rumusnya.

Bagaimana pakeliran di masa kini—yang wajib menggunakan sistem pengeras suara—mampu tersaji apik, indah, serta jelas di telinga? Apa saja yang musti dipahami dan bagaimana merancang serta mengaplikasikan seluk-beluk teknis penataan suaranya? Dengan adanya sistem tata suara yang memadai, serta adanya pemahaman konsep dan teknis yang baik, diharapkan pesan-pesan di dalam cerita pakeliran (baik pesan verbal/ceritanya, maupun keindahan bunyinya), dapat menghasilkan makna-makna positif bagi masyarakat penikmat wayang.

Dihadirkan tiga narasumber yang kompeten untuk membahas topik tersebut: Ki Sigid Ariyanto (Dalang), Dedek Wahyudi (Pengrawit, Komponis), dan Denny Kumoro Try Sasandy (Audio Engineer, Pengrawit). Masing-masing narasumber umumnya bercerita tentang pengalaman subjektif mereka dalam menyajikan, menangani, maupun bekerja bersama dalang. Mengapa subjektif? Karena kajian-kajian akademik yang spesifik membahas masalah “audio dalam pakeliran” memang terhitung sangat langka. Ada beberapa substansi yang dapat diinformasikan terkait hasil diskusi seminar ini.

Konsep Tata Suara dalam Pakeliran

Tata suara di dalam pakeliran bukan lagi sekadar pelengkap atau pengeras, namun menjadi sebuah sistem (delivery mechanism)yang wajib pada masa kini. Tata suara di dalam pakeliran tentu sangat terkait dengan pemahaman menyeluruh mengenai ruang (akustik), sumber suara yang kompleks (baik dari dalang, sindhen, gerong, dan gamelan), dan teknis “menangkap suara dan mengirimkannya kembali” kepada audiens. Pemahaman menyeluruh (integrasi) dari berbagai elemen tersebut—yang kemudian menjadi konsep dan implementasi teknis itulah yang disebut sistem. Sehingga cara penanganan tata suara di dalam pakeliran tidak bersifat parsial (misalnya hanya fokus pada suara dalangnya saja).

Menarik yang disampaikan oleh Ki Sigid Ariyanto dalam presentasinya. Ia memberi pandangan bahwa salah satu keberhasilan penataan suara di dalam pakeliran bisa ditentukan oleh “selera seorang dalang”. Ia berkaca dari pengalamannya bertahun-tahun dalam mementaskan wayang kulit.

“Dalang punya ukuran berupa selera, bisa menentukan—misalnya: mana jenis/merk mikrofon yang pas untuk karakter suara dalang (yang tentu berbeda-beda), juga suara sindhen maupun gamelan; apa saja jenis/merk speaker yang dianggap layak dan tahan (berkualitas) untuk mementaskan wayang semalam suntuk? Itu semua dicari seiring pengalaman dan diputuskan sebagai pegangan,” ujarnya.

Apa yang diutarakan oleh Ki Sigid Ariyanto—menurut saya—bukan hanya soal selera, namun sebuah konsep. Dikatakan konsep karena ia telah melampaui pergumulan bertahun-tahun atas problem tata suara pakeliran yang dihadapinya bersama tim, dan lantas menemukan kerangka sistematik yang dapat diaplikasikan. Selera yang dimaknai dengan “logis”, tidak sebatas “suka” atau “tidak suka”—sangat berpotensi menjadi sebuah konsep, pegangan, bahkan prinsip.

Integrasi

Kadang-kadang pemahaman integratif tentang konsep tata suara ini kurang dihiraukan, tim penyaji pakeliran—khususnya sang dalang—cenderung pasrah saja kepada audio engineer (bahkan tidak tahu sejauh apa kemampuannya). Namun ketika hasil olahan audio pementasannya buruk, dengan akibat fatal: mbengung, tidak terdengar seimbang, bahkan tidak jelas, maka audio engineer menjadi bulan-bulanan amarah.

Kedua pihak, dalam hal ini tim penata suara dan penyaji pakeliran (dapat diwakili oleh dalang atau pemimpin gamelannya) membutuhkan komunikasi dan tukar-pemahaman yang cukup. Bahkan disarankan oleh narasumber Denny Kumoro Try Sasandy, seorang penata suara perlu pula untuk memahami garapan (gendhing) yang dibawakan dalam sajian—sangat baik jika penata suara juga merupakan penghayat sajian pakeliran.

Dedek Wahyudi juga memberi penegasan, bahwa penabuh gamelan dalam pakeliran sebaiknya juga memahami secara detail “siapa” dan “sejauh apa” penata suara mampu menangani sajian pakeliran yang terbilang kompleks ini. Bahkan ia memberi rekomendasi sejumlah nama yang dipandangnya kompeten.

Pakeliran merupakan seni pertunjukan yang menuntut kecerdasan telinga sebagai pintu masuk untuk menangkap makna-makna. Intensitas “beban dan pekerjaan telinga” audiens di dalam sajian pakeliran tergolong tinggi, khususnya jika pakeliran itu semalam suntuk. Dengan demikian telinga akan dengan mudah menolak jika ia menerima kebisingan (noise), dan suara-suara yang kurang jelas lainnya, karena makna/pesan yang disampaikan oleh dalang (dan integrasi lainnya) akan menjadi kabur pula.

//

Artikel ini telah dimuat di Harian Solo Pos, 26 Juni 2023 dengan judul yang sama. Saya menghaturkan terima kasih kepada Mas Ichwan Prasetyo atas pemuatan artikel ini.