Sapardi Djoko Pinurbo: Tentang Ketakjuban Saya pada Imajinasi Mereka

Karya: Alfin Rizal

Mungkin hanya penyair yang bersungguh-sungguh, yang (selalu) berusaha menciptakan—istilah Pak Sapardi—“bahasa khas”, ekspresi yang otentik, personal, sulit ditiru, dan terus-menerus menggugah rasa indah para pembacanya.  

Sapardi mengaku hanya mengandalkan “imajinasi” ketika menulis puisi.

“Ah, Pak Sapardi bo’ong! Itu pasti bukan imajinasi level biasa!”

“Oh, imajinasi ada levelnya, ya? Kayak sambel aja! Ha.Ha.Ha,” ujarnya terkekeh.

Ya, di dalam imajinasinya itu, menurut keyakinan saya, terkandung rempah-rempah mujarab berikut resep-resep yang tidak sembarangan, sebagai modal menelurkan puisi-puisi khidmat. Saya juga teramat yakin ada teknik-teknik tersembunyi, seperti koki memasak. Semua teknik itu, dalam segala kemungkinan aplikasinya, tidak selalu bisa dibocorkan gamblang. Selalu ada rahasia, bahkan rahasia yang tidak pernah bisa untuk diungkapkan. “Kok bisa bagus?”; “Ya, pokoknya begitu…”

Barangkali imajinasi yang dibilang Einstein juga bukan imajinasi yang serampangan saja, namun imajinasi yang telah melewati berbagai pergumulan. Imajinasi Sapardi—atau seniman pada umumnya yang berdarah-darah mengeksplorasi sumber-sumber kreatif dari mana saja—adalah imajinasi yang terus-menerus dipergulatkan dengan: (1) Waktu—entah kapan itu berakhir yang jelas harus terus mencipta; waktu adalah fana, tidak bisa dideteksi, sementara kita (pikiran manusia) abadi; (2) Makna hidup pribadi—soal renungan hingga kebahagiaan personal; (3) Manfaatnya bagi Orang Lain—karena puisi juga memberi penghiburan sekaligus makna bagi pembacanya.

Imajinasi dalam level yang kompleks, selalu bergulat dengan pengetahuan dan keputusan yang tiada habisnya. Terus diupayakan. Sering gagal, atau nanggung, bahkan sebagian hasilnya dianggap tidak penting. Dari beragam hasil-hasil itu, ada yang kemudian muncul sebagai hasil “yang tidak sembarangan.”

Waktu pertama kali membaca “Aku Ingin”, saya betul-betul membayangkan kata-kata berikut ini dalam wujud fisiknya:

…kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

…isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Ada yang sulit dimengerti, namun bisa dinikmati.

Ada yang logis, ada pula yang abstrak.

Sapardi “meng-orang-kan” kayu dan awan (personifikasi), dan memunculkan kisah tersendiri sebagai “epistemologi batin” dari dua benda kasat yang diimajinasikan agar terasa punya peristiwa. Kagum pada puisi itu, dan saya senang menyanyikannya setiap waktu.

Begitu pun pada puisi “Dalam Doaku”, selalu dikutip penutupnya oleh banyak orang. Memang sangat menyentuh:

Aku mencintaimu

Itu sebabnya aku takkan pernah selesai

Mendoakan keselamatanmu…

Ada celah untuk berakrobat sedikit di antara kata “mendoakan” dan “mu.” Yang mudah dan umum cukup “mendoakanmu”, tapi itu terasa imajinatif level biasa. Maka ditambahkan kata “keselamatan”—yang menyempil di antara “mendoakan” dan “mu”, yang menjadikan penutup puisi ini sangat kuat dan menyentuh… Membuat saya khususnya, sungguh selalu ingin berdoa bagi keselamatan siapa saja.

Kebetulan 2017 lalu Art Music Today berproyek dengan pianis Angelica Liviana, membawakan gubahan “Dalam Doaku” yang ditafsir pianis-komponis Ananda Sukarlan dengan sangat apik menjadi karya komposisi musik.

“Hujan Bulan Juni” juga lebih dari sekadar hujan yang jatuh begitu saja. Atas kekaguman ini saya mengarang melodi lagu untuk puisi itu. Dengarkan di sini: https://www.facebook.com/eriemusike/videos/10155029373134910.  

Akan ada sejuta obituari untuk Sapardi. Itu tidak berlebihan untuk penyair sekhidmat dan sekonsisten beliau; yang memberi warna tersendiri pada alam raya puisi Indonesia.

**

Nah, ketika mengenali puisi-puisi Pak Sapardi, saya kok otomatis merasa tergeret dengan penyair lebih muda satu lagi: Joko Pinurbo. Kekuatannya juga serba ekstra. Wajah JokPin itu, kalau menurut saya, sudah sangat puitik, lengkap dengan tekstur dan guratan-guratan hasil perenungan dan perjuangan mendalam terhadap bahasa sebagai produk ekspresi yang khas, yang ditelurkan tanpa mengenal waktu. Artinya, kapan pun di tubuh dan pikiran Joko Pinurbo ada puisi. Makan minum puisi, tidur puisi, ia tak pernah sebenar-benarnya puasa berpuisi. Bagaimana mau ditandingi? Layaknya Didi Kempot yang bagi saya “di atas rata-rata.”

“Kamus Kecil” adalah yang paling saya suka sejak baris pertama, terutama dua penggalan ini:

Bahwa ibu tak pernah kehilangan iba…

Dan juga ini:

Bahasa Indonesiaku yang gundah

Membawaku ke sebuah paragraf yang merindukan bau tubuhmu…

Dalam interpretasi saya yang sangat awam dan tak paham teori puisi, Joko Pinurbo melakukan banyak sekali terobosan dalam berbahasa. Ada berlapis-lapis keseriusan di tengah segala permainan kata yang terkesan menggelitik, sederhana tapi kalau dicoba sulit, butuh waktu panjang untuk sampai kepada “yang khas” itu. JokPin memperbaharui Sapardi dalam gaya dan ekspresi, meneguhkan kembali rasa tanggap kita terhadap bahasa Indonesia yang belakangan kerap dipakai sembarangan saja oleh orang-orang yang tak pernah mau menghargai “nyawa bahasa.”

Maka dari itu, upaya memberi nyawa pada bahasa adalah harga mati bagi JokPin, dan tentu saja Sapardi. Keduanya sama bagi saya, memberi makna bagi hidup ini. Karena sama, nama keduanya bisa disatukan: Sapardi Djoko Pinurbo.

Selamat Jalan, Pak Sapardi. Terima kasih, Pak JokPin.

Hormat saya.

Solo, 23 Juli 2020 04.49 WIB. Subuh.