PUNYA BANYAK GAYA DALAM MENULIS? WHY NOT? INDONESIA SAJA BINEKA MASAK KAMU NGGAK?

Foto: Felix Dharma Yudi.

“Menulis (bisa dan boleh) menggunakan gaya yang berbeda-beda untuk tujuan atau fungsi yang beragam. Punya banyak gaya itu sah-sah saja.”

Saya punya beberapa pengalaman tentang itu. Singkatnya seperti ini, detailnya boleh japri langsung.

Misalnya, ketika diminta tampil untuk memberikan kuliah terbuka (berpidato) di depan seribu mahasiswa baru, saya menulis dengan gaya bahasa formal, tapi tidak dengan terminologi-terminologi yang rumit. Saya sangat menyadari, bahwa yang akan mendengarkan “tulisan” saya adalah “Siswa SMA yang baru saja lulus”, maka saya harus menyesuaikan. Waktu itu tidak pidato luar kepala, melainkan membacakan apa yang sudah saya tulis.

Jika sedang menulis untuk tujuan yang “tidak terlalu jelas”, artinya demi membunuh waktu personal saja, saya menulis dengan sangat liar dan bebas, kadang-kadang menggunakan idiom seperti orang berbicara lisan. Kalau kalian pernah membaca buku-buku saya, terutama yang seri Short Music Service 1 – 4, Mendengarkan Gitar Menikmati Hongkong, di sanalah rata-rata saya menulis dengan cara yang paling natural, mengalir, rasanya kalian seperti berbicara empat mata dengan saya. Inilah yang dominan berpotensi membentuk gaya personal.

Ketika diminta membantu penelitian-penelitian akademik sebagai asisten ketak-ketik, ada perbedaan lagi yang signifikan, terutama kedisiplinan terhadap intensitas membaca sumber, yang kemudian berpengaruh pada pengungkapannya ke sebuah tulisan. Penggunaan istilah atau terminologi menjadi lebih ketat, bahkan sangat ketat.

Di koran atau blog lain lagi, saya menulis dengan sangat-sangat sederhana, karena saya sangat ngeh bahwa pembacanya akan lebih plural.

Jadi, menulis itu ternyata begitu-itu. Selain harus memperhatikan siapa yang menjadi sasaran, kita juga harus peka dan punya prediksi terhadap gaya-gaya yang akan kita gunakan. Dengan begitu kita akan berkembang dalam keberagaman.  Tulisanmu berpotensi dinikmati lebih banyak orang. Kemanfaatanmu sebagai manusia makin teruji.

Berbicara pun demikian. Kita akan menyesuaikan gaya berbicara tergantung dengan siapa kita sedang berbicara. Nek karo kancamu dewe yha sah-sah wae muni “ASU KOWE…!” Nek karo wong tuwamu? Wooo… Auto Kuwalat kuwi jenenge…

Sekian dulu, ya!