Musik dan Kata: 2 Jenis “Makhluk” yang Enggak Pernah Bisa Akur

Sejauh menggeluti alam musik dan kata (bahasa) secara bersamaan, dan setelah kurenungi bertahun-tahun, dua makhluk itu: musik dan kata, memang tak pernah bisa akur. Sebab sejujurnya, musik terlalu sulit dibahasakan, terlalu sulit diterjemahkan begitu saja ke dalam kata-kata.

Ada contoh sederhana, ada seorang pengarang musik mengaku dapat ilham yang datang dari langit, lalu perasaannya mengalir begitu saja dan ia mampu membuat musik yang (dianggap) indah oleh banyak orang. Giliran mau diwawancarai untuk saya tulis, dan ketika ditanya tentang bagaimana prosesnya, ia cuma menjawab: “Saya tak tahu, itu sulit dijelaskan dengan kata-kata, coba kamu tafsirkan sendiri musik saya itu.” Giliran sudah saya tulis berdasarkan imajinasi, bekal pengetahuan dan pendengaran saya, si pengarang musik itu bilang: “Bukan, bukan begitu maksud saya!” Hmmm.. memusingkan! Dan itu, seperti kolom kecil di Harian Kedaulatan Rakyat, Sungguh-Sungguh Terjadi.

Maka saya penasaran dan mendorong si pengarang musik itu agar mau berbicara lebih gamblang, meskipun ia tampak kesulitan. Sampai akhirnya ia mengeluarkan satu kalimat panjang yang menurut saya cukup sulit dipahami, begini: “Saya menguasai teknik berkomposisi, tapi saya tak pernah bisa menguasai intuisi dan kejadian-kejadian lain di luar teknik-teknik yang kasat dan saya anggap mudah dipelajari itu. Saya juga tak pernah mampu menguasai bahasa untuk menjelaskan musik saya. Tapi saya bisa memaklumi, bahwa seribu kosa kata mungkin tak cukup untuk menjelaskan musik saya. Tapi jika ada satu kalimat saja yang Anda temukan dan ternyata itu tepat, itu akan menjadi satu-satunya.”

Okay. Saya ingin keadilan. Artinya, saya mau bagi porsi agar hak saya untuk mendapatkan informasi sebagai jurnalis bisa tercukupi. Saya mengejarnya lagi: “Lalu bagaimana cara menemukan kalimat yang tepat itu?” tanya saya. “Dengarkan musik saya seribu kali atau sampai Anda merasa bosan! Tantang diri Anda untuk tidak mengukurnya semata dengan rasa suka atau tidak suka, bukan juga dengan pesan di balik musik itu. Buatlah papan catur seluas-luasnya dan isi dengan ribuan kata-kata, pilihlah yang paling logis dan mewakili.”

Saya terhenyak. “Aneh sekali orang ini,” gumam saya.

Saya menyerah, pamit pulang, tapi diam-diam saya tetap mencoba mengikuti anjuran si pengarang musik itu. Mendengarkan musiknya berkali-kali sampai jenuh dan muntah, dan mencoba menemukan kata yang tepat untuk membahasakannya, sekuat tenaga dan pikiran.

Bulan berikutnya saya kembali lagi ke rumahnya untuk melaporkan apa yang saya alami. Tapi apa yang terjadi? Rumah itu telah kosong. Hanya ada sisa sebuah kursi roda, beberapa buku dan cd audio di perpustakaannya. Kata tetangga sebelah, ia telah meninggal dunia tiba-tiba karena serangan jantung; padahal saya sudah siap satu kalimat yang mungkin cocok untuknya, begini bunyinya: “Menikmati musik ini seperti menikmati pelangi yang muncul di tengah segala ambigu antara cahaya dan mendung. Ada terasa indahnya, namun juga sedikit kegelapan yang misteri. Ia melukis pelangi dengan penuh pemahaman tentang nirmana, susunan warnanya tampak tidak sembarangan. Namun ada yang aneh. Sayang musik ini terasa pendek, tak ada bagian klimaks atau terasa menggebu-gebu bergelora, tak ada bagian yang benar-benar memikat, meskipun menantang untuk terus diikuti dan tidak membuat bosan. Satu hal yang perlu dicatat, sepertinya kekuatan musik ini ada di bagian ritmenya, yang disusun secara kompleks, namun tetap terdengar sederhana dan mistis. Elemen-elemen lain hanya terasa sebagai pendukung, bahkan tak lebih dari sekadar kosmetik…”