MUSICAL DISTANCING

Ilustrasi: Erie Setiawan

Tak ada burung gagak yang melintas di udara, namun laksana gemuruh dari dasar laut, getarannya terasa merobek dada. Pandemi menyiksa semua lini, mengombang-ambingkan musisi, mereduksi estetika musik yang telah dibangun sekian abad lamanya oleh ahli-ahli di jagad raya.  

Ruang nyata yang memantulkan dan mempertemukan antar-bunyi dalam sifat dan dialektika akustiknya, tengah menyerah oleh virtualitas. Namun tempo menjadi penting, metronom sedang dibutuhkan, hitungan ketat adalah mutlak. Kita sedang belajar bijaksana kepada ruang dan waktu. Belajar kembali semua itu.

Foto-foto manggung (musik tanpa bunyi), yang biasanya ramai di media sosial, kini tengah sepi, digantikan massifnya video-video kolaborasi virtual yang dikuasai kuota. Apakah ada revolusi yang tidak memakan korban? 4.0 terdengar enteng dan biasa-biasa saja. Mungkin manusia sudah tidak dipandang kuat dan punya nyali untuk merevolusi? Pada kenyataannya, virus memanuver sistem, bahkan merubah tatanan seketika, seperti kelebat sampur penari tradisi. Virus seakan lebih tangguh dari manusia yang masih merasa perlu menyusun undang-undang atau memasang rambu-rambu lalu lintas.

Sedang sulit dipertanyakan, nasib musisi itu bergantung pada Tuhan atau pada selesainya pandemi? Yang tidak punya gentong penyimpan uang (dan itu masih berisi) memang sedang stres. Tak hanya pedagang yang kerja hari ini untuk hari ini. Banyak kawan 100% hidupnya menggantung di tangkai-tangkai keramaian sosial-musik. Mereka “terhenti nafasnya” sampai sedikitnya Juni 2020 nanti. Seminggu sekarat saja stres, apalagi berbulan-bulan.

Dunia klab malam yang rapat oleh bau-bau menyengat juga tengah lelap, bahkan pemiliknya berencana memborgol pintu besi selamanya dalam waktu dekat. Musik juga hidup di situ.

Kini semua sedang mencari cara, tak terkecuali musisi, agar tetap bisa mengunyah. “Tak masalah, masih ada aset yang bisa dijual,” kata seorang teman. “Bagus!”, kata saya. “Lalu harganya?”, tanya saya. “Ya pasti anjlok!, ujar teman itu sambil tetap terkekeh menghibur kesedihannya.

Barangkali ketenangan adalah kunci penting untuk saat ini dalam segala kepasrahan dan rejeki kiri-kanan, dalam bentuk tak selalu harus uang. Kita juga tengah sedemikian keras berpikir tentang perbedaan mencolok antara rejeki dan uang untuk saat ini. Rejeki membuat kita terus hidup, sementara uang belum tentu, karena multi-efek yang bisa disebabkan olehnya.

Kita mungkin tengah terganjal dengan banyak hal (pertanyaan) yang berat-berat juga: Apa saja aktivitas di dunia ini yang bisa berubah menjadi virtual? Musik? Setengah iya setengah tidak. Sepak bola atau berenang? Tidak mungkin! Revolusi uang misalnya, sudah nyata. Eksekutif tak butuh kertas, sementara simbok-simbok di pasar masih menyumpelkan recehan di sela-sela kebaya. Apakah akan terjadi, pada suatu ketika nanti, tak ada lagi uang dalam wujud fisik?

Memang serba tak habis pikir. Judul tulisan ini pun hanya judul. Tak ada kaitan dengan isi. Ini teknik baru dalam menulis di zaman yang sedang aneh. Tetaplah sehat!