
“Musik adalah ilmu yang mengajak setiap orang untuk tertawa, bernyanyi, dan menari”, ujar Christopher Macklin, Doktor Musikologi dari Universitas Mercer, Amerika.
Tertawa, bernyanyi, dan menari adalah penawar ultra-herbal bagi jiwa, dan terbukti ampuh membunuh depresi, stres, atau frustasi yang menggerogoti pikiran manusia. Terasa tidak main-main, aktivitas ta-nya-ri itu sudah dilakukan sejak 2700 tahun silam. Untuk apa? Salah satunya melawan pandemi!
Melawan, dalam arti yang paling substansial, bukanlah pertarungan antar muka atau jotos-jotosan dengan pandemi, melainkan menjaga sepenuhnya jiwa-raga supaya tidak ikut remuk tertindas krisis. Kalimat “Musik adalah ilmu” yang diucapkan Chris Macklin saya maknai sebagai semacam penyelamat. Musik itu menyelamatkan. Jika musik adalah ilmu, maka musik harus menyelamatkan.
Bagi saya tak ada ilmu yang pada fungsinya tidak menolong atau menyelamatkan ummat manusia dari berbagai masalah, entah mudah atau sulit. Kalau pun ilmu dipakai sebagai modus demi membuat keadaan makin runyam, sulit, dipakai melukai, itu artinya melanggar segala fitrah ilmu, melepaskan segala kemurniannya.
Nyanyian penyemangat dari balkon
Anda pernah nonton (atau ingat) video-video di Italia yang menunjukkan musisi main musik di balkon atau jendela, saling melempar senyum, berkolaborasi dalam jarak fisik: menyanyi, menari? Yup! Itu dia!
Nah, apa yang kita saksikan di video-video itu ternyata sudah pernah dilakukan sejak 1576 ketika Milan, Italia, ikut terkena epidemi ganas yang disebut oleh Alessandro Manzoni sebagai Wabah Santo Charles. Dalam waktu kurang dari dua bulan, 6000 nyawa terenggut karena wabah ini.
Uskup Agung Milan, Charles Borromeo, membuat perintah semacam Go Lockdown keseluruh warganya, menganjurkan setiap orang agar tetap di rumah, berdoa dan beribadah di rumah. Ketika sebagian orang dari pemerintahan gereja berkeliling untuk membagi-bagikan sembako kepada warga, mereka umumnya bersaksi:
“Ini sungguh tidak biasa. Di sepanjang perjalanan, tak ada yang saya dengar selain lagu dan musik yang berkumandang di teras dan balkon.”
Ada oplosan antara kesedihan dan motivasi agar tetap semangat! Pandemi memang identik dengan dua suasana itu.
Orang-orang di Eropa terbiasa menggunakan musik sebagai media untuk saling menyemangati, baik antar keluarga terdekat maupun tetangga atau warga-komunitas. Mereka memainkan atau menyanyikan apa saja yang mereka mampu, namun khususnya lagu-lagu pujian Kristiani dan musik-musik klasik.
Jauh sebelum itu
Ada fakta juga, bahwa sejak zaman Mesir Kuno, Yunani, dan Babilonia, musik memang telah menjadi media andalan yang kerap digunakan sebagai obat penawar bagi masalah-masalah psikologis-spiritual, termasuk berfungsi menjaga ikatan sosial di tengah wabah.
Ketika wabah melanda Sparta pada Abad ke-7 SM, para pemimpin kota mengajukan petisi kepada penyair Thaletus untuk menyanyikan lagu-lagu pujian, dan Terpander (Terpandros), penyair Yunani Kuno yang terkenal, dipanggil saat wabah melanda Lesbos. Bahkan Pythagoras, pencipta teorema favorit bagi setiap anak sekolah, menggunakan musik sebagai alat terapi, ia memainkan kecapi untuk menenangkan para hooligan (penggila sepak bola) yang mabuk!
Oh, ya, ada juga aktivitas unik di Italia pada Abad Pertengahan, dimana ketika warganya mendengar informasi bahwa akan ada wabah dan diminta hati-hati, mereka berbondong-bondong pergi ke tempat suci untuk bernyanyi dan berdoa secara kolektif, menyebar frekuensi positif. Juga di tiap ruas-ruas jalan. Musik dan doa memberi pengharapan.
Ketika Wuhan tertimpa korona dan lockdown,ada muncul pekikan “Wuhan Jiāyóu! Wuhan Jiāyóu!”, yang artinya: “Ayolah, Wuhan!” (Wuhan Semangat!). Itu bukan pekikan biasa. “Pekikan itu simbol semangat”, ujar Remi Chiu, ahli musik dari Universitas Loyola. “Wuhan Jiāyóu” lantas menjadi lagu yang amat membekas bagi warga Wuhan, mudah dinyanyikan siapa saja.
“Musik memang mampu meluluhkan ego di saat masa karantina,” sambung Chiu. “Ketika Anda membuat musik dan menyebarkannya untuk menyemangati setiap orang, Anda telah mengabdikan diri Anda untuk komunitas/kelompok masyarakat yang lebih besar, itu artinya Anda tidak lagi egois,” tegasnya.
Relasi jiwa-raga, fisik dan psikis, atau apa pun itu istilahnya, adalah dua kutub yang senyatanya saling mendukung. Fisik yang kuat namun ditopang jiwa yang lemah akan mengakibatkan kejatuhan, cepat atau lambat! Fisik yang lemah bisa didorong agar tetap kuat dengan jiwa yang sehat.
Dalam konteks terapi musik, Anda akan menemukan banyak fakta mengenai keajaiban musik bagi jiwa manusia, bahkan sejak zaman Renaisans, setiap pasien yang berpotensi “lemah jiwa” selalu diajarkan seni, antara lain menari, bernyanyi, tertawa, bermain musik, supaya kelemahan itu tidak delay berlarut-larut. Untuk pasien kanker dan skizofrenia di zaman modern, musik berpotensi mengurangi kecemasan.
Tetaplah semangat!
Sejak fase-fase awal pandemi korona menjalar di Indonesia (pertengahan Maret 2020), ramai para musikus melakukan kolaborasi virtual di media sosial, hingga tercatat kolaborasi terkolosal sejauh ini adalah paduan suara virtual “Indonesia Menyanyi”, yang melibatkan 2758 penyanyi, menggabungkan 3615 video dan 436 paduan suara! Ada energi saling menyemangati yang terpancar di balik kolaborasi yang dipersembahkan Bandung Choral Society itu. Videonya di sini.
Saat ini dunia musik berbasis panggung dan kerumunan nyata memang tengah sekarat! Saya pun mengalami, beberapa jadwal panggung musik dan kolaborasi seni, setidaknya hingga Juli, tidak bisa dilangsungkan, alias dibatalkan! Selepas bulan itu juga belum tahu kepastiannya. Entah pekerja lapangan atau administratif kompak mengeluhkan dampak yang sama dari pandemi korona ini. Industri musik khususnya, amat terpukul. Dampak gelobalnya baca ini.
Di dalam pikiran kita (khususnya yang bekerja independen), memang sedang berjuang mencari berbagai cara untuk menemukan solusi pertahanan diri. Ada yang tetap bertahan “di jalur musik” dengan memanfaatkan tabungan darurat, tetap kreatif posting-posting,hingga tak jarang yang “hijrah” lalu jual sembako, makanan, pakaian, jual ini-itu, dan lain-lain, supaya tetap hidup! Tak sedikit pula yang berada di titik sulit dan benar-benar mengharapkan uluran tangan.
Namun betapa kita wajib untuk tetap bersyukur, bahwa musik masih selalu hadir intim dan hangat dalam mengisi lembar-lembar kesunyian sosial kita, mengisi kekosongan suasana hati, terlepas dari “musik sebagai urusan dompet.” Ini soal “musik adalah ilmu”, sebagai urusan jiwa, sebagai penyemangat, penyelamat.
Musik, disadari atau tidak, berhasil menyuplai “nyawa cadangan” di tengah dampak pandemi, menjadi bahan bakar atau energi spiritual, agar kita tetap bertahan, berbagi, dan terus menyebarkan semangat satu dengan yang lain dengan berbagai cara. Meskipun semua itu masih ajeg terjadi (hanya) di dinding-dinding virtual.
Musik memungkinkan menjaga nyala api semangat itu, sebuah kemenangan yang indah dari peperangan yang absurd.
(Esai ini disarikan dan diinterpretasikan dari laporan berita The Guardian: https://www.theguardian.com/music/2020/apr/06/stayin-alive-how-music-fought-pandemics-2700-years-coronavirus), dirilis 6 April 2020.