DI DADAKU ADA DIDI

di dadamu mungkin sama

Foto: Agustinus Bambang (UGM, 29 Feb. 2020)

Belum lama ini beberapa wartawan menelpon saya, meminta pendapat tentang sosok Didi Kempot, penyanyi kondang yang baru saja dijemput Sang Khalik. 

Dalam kapasitas saya yang cuma sebagai Kempoters yang terlanjur fanatik dengan lagu-lagu Didi Kempot sejak 1990-an, saya tidak bisa bercerita lebih banyak dari yang sekadar saya rasakan. Sedikit-sedikit bisa menjelaskan dari perspektif ilmu pengetahuan musik. Itu pun dalam kadar yang sederhana saja.

“Apa sih, Mas, istimewanya lagu-lagu dan sosok Didi Kempot dari kacamata panjenengan? Dan mengapa dia bisa sangat terkenal?”

Ada dua pintu untuk menjawab pertanyaan itu: subjektif dan objektif. Tentu saja bagi saya, yang sekali lagi, fanatik, Didi Kempot itu keistimewaannya banyak. Selain fakta umum,dimana lagu-lagu beliau menyentuh berbagai lapis emosional masyarakat tanpa terkecuali, Didi Kempot adalah sosok yang khas dengan berbagai piranti. Mulai dari wajah beserta postur dan gesturnya, suaranya, lagu-lagunya, gayanya, dedikasinya, dan lain-lain.

Kebetulan belum lama ini, 29 Februari 2020, Kroncongan Agawe Santosa pentas sepanggung dengan Didi Kempot di Grha Sabha, UGM, Jogja, untuk acara reuni Fakultas Kedokteran, UGM. Kami diundang Prof. Adi Utarini, seorang kolega baik. Kroncongan Agawe Santosa tampil membuka acara, Didi Kempot dan Lare Jawi menutupnya. Saya pun berjoget ria dan bernyanyi sangat keras.

Di fase menunggu giliran sound check yang sedemikian lama dari siang hari, saya dan Mas Agustinus Bambang berdiskusi panjang lebar tentang sosok Didi Kempot, kesibukannya, beserta tarif manggungnya dalam setahun terakhir. Mas Bambang mengenal Didi Kempot secara personal, dan belakangan juga relatif sering bekerjasama. Mas Bambang piawai mengemas lagu-lagu Didi Kempot ke dalam nuansa orkestra. Satu hal yang diceritakan Mas Bambang tentang keistimewaan Didi Kempot: “Nyanyi tidak pernah fals!” Saya setuju, lebih  dari 100%!

Soal kesibukan Didi Kempot? Hmm.. Ini: Sebulan bisa manggung 40 sampai 50 kali dengan tarif rata-rata dalam range 125-150 juta. Soal tarif ini, Mas Bambang juga membocorkan pada saya percakapan langsung dengan Didi Kempot via SMS.

“Maret full, Mas,” kata Didi Kempot.

 *

Secuil teknik intuitif Didi Kempot dalam Mengarang Lagu

Lalu apa yang membuat Didi Kempot jadi sedemikian terkenal? Apakah karena Sobat Ambyar? Apakah karena Gofar Hilman? Bagi saya tidak.  

Didi Kempot terkenal karena lagu-lagunya memang bagus! Nah, momentum-momentum lain yang turut mendongkraknya di media sosial turut melengkapi keistimewaan Didi Kempot dengan lagu-lagunya itu.

Mengarang lagu yang bagus bagi saya tidak mudah. Bagus dalam arti simpel adalah diterima masyarakat dan  menjadi abadi. Soal ini, tidak ada satu pun rumus teoretik yang pernah menjelaskannya. Beberapa buku dan tips-tips yang saya baca tidak pernah dengan gamblang membeberkan “bagaimana menyusun lirik dan kemudian menempatkannya secara pas ke dalam melodi lagu”—misalnya begitu secara teoretik.

Misalnya lagu ini:

Wis, sak mestine, ati iki, nelangsa

Wong sing, tak tresnani, mblenjani janji

Apa, ora eling, nalika, semana

Kebak kembang, wangi, jroning dada

(Perhatikan seluruh tanda koma di penggalan bait itu)

Analisis singkat (satu baris):

Kata (1) Wis, dipenggal sebagai jeda. Baru sesudah itu (2) Sak mestine.

Jika tiga kata itu diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, artinya adalah Sudah Seharusnya. Kata “Sudah Seharusnya” tidak ideal untuk diucapkan dengan dijeda oleh koma:

“Sudah, seharusnya”. Tidak begitu. Pasti penulisannya “Sudah Seharusnya”.

(3) Ati iki. Ini juga hampir sama dengan sebelumnya, dijeda oleh koma, baru kemudian (4) Nelangsa. Untuk penegasan baris pertama.

Dalam kenormalan yang sewajarnya, penulisan atau lafal lisan kalimat ini: Wis sak mestine ati iki nelangsa,hanya terdapat satu koma, yaitu di antara kata mestine dan ati iki. Namun Didi Kempot membuatnya jadi berkoma tiga.

Lalu soal naik-turunnya nada lagu di tiap frase maupun pada relasi keseluruhan baris antar baris, bait dan bait, hingga bentuk utuh. Ini juga unik.

Pilihan melodi lagu berpengaruh besar untuk menyokong lirik yang telah disusun, hingga membuatnya hidup dan mudah lekat di hati. Tentu saja teknik bermain “melodi melangkah” (jarak antar suka kata dalam melodi lagu selalu berdekatan). Ini seperti teknik lagu-lagu anak karangan Pak Kasur, Ibu Sud, dan sebagainya. Teknik-teknik lagu dengan “melodi melangkah” selalu lebih “terkenal” ketimbang sebaliknya. Lagu-lagu Koes Plus adalah contoh yang paling relevan.  Didukung iringan musik yang sederhana dan mudah diingat.

Nah, baru sesudah itu, yang menjadi pendapat umum masyarakat atas lagu-lagu Didi Kempot, adalah syairnya yang mewakili dinamika perasaan masyarakat. Cinta, patah hati, ditinggal pergi… menjadi sangat dekat dengan kebutuhan setiap orang untuk mengigat “kepahitan” dalam momen kehidupan, sekaligus menjaganya agar tetap semangat.

Gofar Hilman bilang: “Hanya Didi Kempot yang bisa membuat puluhan ribu orang bergelora dan tetap semangat walaupun dalam keadaan patah hati”  

Patah Hati Tetep Dijogeti

Dalam banyak alasan, saya kurang setuju dengan pendapat kebanyakan orang yang cuma berkisar pada gelombang lirik Didi Kempot yang bagus dan dekat dengan situasi emosional setiap orang. Selain itu, dalam soal “struktur musik”, Didi Kempot punya kekuatan besar yang ia kerahkan dengan modal “teknik intuitif” yang mumpuni untuk mengarang lagu.

Syair dan cara menempatkannya ke dalam melodi lagu, adalah tantangan dan hubungan yang tarik-ulur terus-menerus bagi setiap pengarang lagu. Tidak ada lagu yang hebat sepanjang sejarah tanpa adanya pemahaman itu, terlepas dari dikarang dengan intuitif atau pun dalam pengalaman empiris dan teoretik.

*

Lalu, Mas, Siapa kira-kira menurut panjenengan, sosok yang bisa menggantikan Didi Kempot?”

“Wah, sejauh ini menurut saya belum ada, mbak. Didi Kempot itu otentik, orisinil. Perjalanan hidupnya, perjuangannya, karakteristiknya. Kalau pun ada momentum suatu ketika nanti, mungkin saja ada sosok yang setenar beliau dan sangat bermanfaat sebagai figur bagi masyarakat. Ya… kita tunggu saja. Yang jelas di dadaku ada Didi, mbak; Di dadamu mungkin sama.”

“Iya, Mas.