Di Tangan Suka Hardjana, Musik Menjelma Ilmu Pengetahuan

Remy Sylado menyebut Suka Hardjana sebagai seorang dengan empat identitas: musikus, pedagog, pemikir, dan penulis musik.

“Seperti petani, lahanku kecil, tapi harus diolah dengan sabar, telaten, agar tumbuh tunas muda.”

Bagi Suka Hardjana, hampir setiap malam selama puluhan tahun adalah gundah-gelisah tak berkesudahan. Lelaki Jawa kelahiran Jogja ini punya jadwal rutin termangu di depan mesin ketik, lalu menuliskan ide-ide, membayangkan masa depan. Sesekali menyentuh tuts piano lawas koleksinya sambil bernyanyi lirih, atau cukup mendengarkan musik klasik dari telefunke.

Dituliskannya nama-nama, sejarah, peristiwa, momen-momen, dalam sudut pandang yang seringkali tak terpikirkan orang. Namanya mulai sering muncul di koran-koran sejak 1972, hingga tiba fase produktivitas yang menyurut pada 2004 dan sesudahnya. Sedikitnya 30 tahun pemikirannya yang khas mewarnai ulasan-ulasan musik di lembar-lembar opini media massa Meski diakuinya: “Menulis adalah kecelakaan sejarah.” Pernyataan itu disampaikan kepada putra semata wayangnya yang kini menjadi dosen sosiologi di Jerman. Suka (merasa) “gagal” menjadi musikus tersohor, seperti dicita-citakannya sejak remaja.

Dalam karir kepenulisan yang dianggapnya sebagai kecelakaan itu, ia malah merambah ke topik-topik di luar musik, seperti politik, sosial, hukum, dan kebudayaan. Selama sekian tahun ia dipercaya sebagai kolumnis untuk Kompas, nangkring bergantian bersama Harry Roesli dan Mohamad Sobary, membahas berbagai dinamika kehidupan masyarakat dengan bahasa yang kritis, lugas, sederhana, namun esensial. Hasil buah pikirannya tersebut dikumpulkan menjadi dua buku terpisah: Jas, Wakil Rakyat, dan Tiga Kera: Percikan Kebijaksanaan (Kompas, 2008), Prof. Dr. Miecky Mouse dan Human Error: Percikan Kebijaksanaan (Laras, 2017).

Sabtu, 7 April 2018 pukul 3 dini hari, Suka Hardjana wafat di RS Cikini, Jakarta karena sakit, pada usia 79 tahun. Jenazahnya dibawa ke Solo via jalur darat dan kemudian dimakamkan di TPU Triyagan, Jaten, Karanganyar. Pemakaman dihadiri oleh kolega-kolega dekatnya, para seniman dan akademisi: Sal Murgiyanto, Endo Suanda, Bre Redana, Rahayu Supanggah, Sutanto Mendut, Djohan Salim, dan lain-lain.

Seluruh rencana yang tengah disusun untuk kelak memperingati 80 tahun usianya pada 17 Agustus 2018 mendatang—terutama penerbitan buku biografi yang rencananya sebagai kado ulang tahun—seketika buyar, berganti ratapan. Istri Suka, Mugiyarsi, sangat menyesali kenyataan ini, karena ialah yang paling mengidam-idamkan momen spesial untuk suaminya ini. Sementara itu, pianis senior segenerasi dengan Suka, Iravati Sudiarso, masih tetap ingin mempersembahkan sesuatu kepada almarhum pada Agustus nanti, berupa pertunjukan musik.

Sosok Figur Lengkap

Suka Hardjana adalah gelora api yang terus membara hingga detik ini, dan akan terus berkobar sepanjang musik dan pengetahuan bersemayam di batin manusia. St Sunardi, dosen di Program Doktor Kajian Budaya (Kajian Seni dan Masyarakat) menyebut Suka sebagai jembatan emas yang menghadirkan musik sebagai pengetahuan dan ilmu. Tidak sekadar bunyi-bunyian yang kemudian hilang tanpa warisan.

Ia menempuh perjalanan panjang dan serius demi meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap musik. Oleh para kolega, hidupnya dikenal lurus, tidak aneh-aneh, penuh karya, menerangi, dan yang penting: memberi contoh.

Pada usia senja dengan kualitas syaraf pendengaran dan detak jantung yang terus melemah, ia masih ditodong ke sana-sini untuk berceramah maupun membimbing mahasiswa musik, meladeni sepenuh hati.

Sosoknya yang tangguh adalah figur yang lengkap piranti keterampilan dan pengetahuan musiknya, layaknya Amir Pasaribu, Slamet Abdul Sjukur, Ben Pasaribu, Sapto Raharjo, Harry Roesli, dan sekian tokoh musik garda depan berpengaruh lainnya yang lebih dulu berpulang.

Dari tangan dingin Suka banyak orang bisa menyaksikan bagaimana perjalanan musik Indonesia dituliskan secara jernih. Kita bisa membaca dalam dua buku utama, arsip tulisan khusus musik di koran-koran yang juga telah menjadi buku: Musik, Antara Kritik dan Apresiasi (Kompas, 2004) yang memuat 82 artikel, serta Esai dan Kritik Musik (Galang Press, 2004) yang memuat 69 artikel. Pemikirannya di dua buku itu sangat sering dikutip untuk keperluan karya tulis.

Satu bulan sebelum wafat, Suka masih menulis sebuah artikel sepanjang 2.058 kata untuk melengkapi buku karangannya, Estetika Musik, sebuah buku yang telah terbit 1983 silam dan diterbitkan ulang pada 2018 karena bobot relevansinya. Sepenggal bagian artikel tersebut seperti sebuah isyarat, membahas kaitan antara gerak dan musik:

“Tubuh terus bergerak sebagaimana bunyi: dan itulah yang disebut sebenar-benarnya musik! Seperti gerak orbit bumi-bulan dan matahari: gerak adalah musik! Bunyi dan gerak adalah kesatuan organik yang tak terpisahkan. Dari sanalah awal-mula dan akhir kehidupan di semesta bumi (AMT, 2018: 162-163).”

Pemikiran terkini (dan terakhir) Suka tersebut menyiratkan sebuah pandangan futuristik mengenai musik. Bahwa intinya dalam segala (yang ber)gerak terkandung musik. Gerak jantung adalah musik, gerak kaki yang meritmis adalah musik, hela nafas, tiupan angin, gerak daun, ombak, dan sebagainya; kendati semua itu seakan “diam” dan tak terdengar begitu saja oleh kemampuan telinga manusia yang terbatas. Tetapi gerak, bagi Suka, telah menjadikan musik ada. Gerak dialami oleh semesta dan isinya, sampai seluruhnya hilang tak lagi menyisakan ruang. Tanpa menyebut diri sebagai pemusik pun, setiap manusia “selalu bermusik” karena fitrahnya.

Pria yang Menempuh Perjalanan Panjang

Selama hidupnya, sosok ini banyak menerima keberuntungan tak terduga. Seperti dikisahkan di buku Manusia Anomali Tanpa Kompromi (2014), di suatu sore tahun 1964, saat Suka sedang mencuci pakaian, datang petugas pos membawa kiriman berisi berkas-berkas. Saat itu ia masih duduk di semester akhir Sekolah Musik Indonesia (SMIND) Yogyakarta. Setelah dibaca, isi berkas-berkas itu menerangkan bahwa Suka telah mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan belajar musik ke Jerman. Berita ini tentu saja sangat mengherankan, karena Suka tidak pernah sekalipun mengajukan lamaran.

Usut punya usut, kejutan ini adalah “ulah” dari Rene Baumgartner, guru klarinetnya semasa di SMIND. Ia diam-diam merekomendasikan Suka untuk mendapat beasiswa belajar klarinet. Suka hanya memiliki kesempatan beberapa hari untuk pergi ke Jakarta mengurus keberangkatan. Ia tidak mempersiapkan apa-apa dengan matang, hanya membawa empat potong pakaian, klarinet, dan beberapa buku. Koper bagus yang dibawanya pun adalah pemberian Rene, gurunya yang mulia itu.

Keberuntungan kedua hampir sama ceritanya. Kali ini Suka ketiban berkat melanjutkan kembali studi conductorship (ilmu mengaba) di Ohio, Amerika. Juga melalui beasiswa yang tanpa melamar. Yang kedua ini karena “rayuan” Paul Wolfowitz, mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia. Di Amerika itu Suka juga berkesempatan belajar manajemen seni. Zona pergaulannya semakin luas, dan tentu saja pengetahuannya semakin lengkap karena kesempatan demi kesempatan itu.

Sepulang dari rangkaian perjalanan luar negeri, Suka kemudian berkarya di Indonesia. Ia terus-menerus mendapat keberuntungan–yang sebenarnya adalah hasil tak langsung dari kerja keras dan dedikasinya.

Suka turut membidani berdirinya LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) yang sekarang menjadi IKJ (Institut Kesenian Jakarta), terutama memikirkan program studi musik di sana. Ia kemudian mendirikan Ensembel Jakarta; menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta—yang kemudian menginisasi Pekan Komponis Muda mulai 1979; mendirikan Klinik Musik Suka Hardjana: Pusat Studi dan Orientasi Musik—Suka rutin memberi bimbingan kepada para jurnalis musik; mengajar untuk program pascasarjana di kampus seni; menjadi kolumnis—adalah sebagian besar jejak penting pengalaman Suka di tanah air.

Remy Sylado (1992: 194), menyebut Suka Hardjana sedikitnya punya empat identitas kunci: musikus, pedagog, pemikir, dan penulis musik. “Dalam memandang musik, ia kritis dan realistis,” kata Remy. Suka juga tidak memandang remeh musik-musik lain selain yang ia tulis.

“Suka termasuk salah seorang pemikir musik yang baik yang pernah dipunyai Indonesia. Artinya, ia berpikir sebagai orang Indonesia dengan melihat sepenuhnya kepentingan Indonesia di tengah bangsa-bangsa lain,” lanjut Remy. Idris Sardi, violinis kenamaan yang juga sahabat dekatnya, menilai Suka adalah orang yang mau bersusah-susah, supaya orang lain ketiban “suka-nya.”

Namun rasanya banyak yang mengatakan Suka Hardjana seakan “gagal” melahirkan generasi penulis musik dalam kapasitas yang lengkap, terutama yang sering disebut kritikus—meski Suka sendiri tak pernah mau mengakui bahwa dirinya adalah kritikus musik. Memang benar, apa yang selama ini dilakukan Suka Hardjana tidak selalu paralel dengan stereotipe yang beredar.

Apalagi di Indonesia, profesi kritikus musik kurang mendapat tempat dan pengakuan. Area kerjanya masih serba abu-abu, masih terasa asing di telinga masyarakat. Suka menyebut dengan tegas: “ada kesenjangan antara kritik, karya seni, dan masyarakat pendukungnya” (2004: xv).

Suka hanya bermodal ketulusan dan kecintaan bahwa apa yang selalu ditulisnya (ia juga percaya) akan menjadi faedah di masa mendatang, terutama bagi tunas muda yang silih berganti mewarnai dinamika musik dari hari ke hari. Maka, sekiranya kita juga perlu lebih pandai dalam memetik pelajaran penting dari tokoh satu ini, bukan hanya soal “kata-kata pedas” yang sering mengalir di tulisannya, melainkan harga sebuah dedikasi untuk generasi. Apakah kita mampu menulis tanpa henti selama 30 tahun?

Suka Hardjana berhasil mengangkat derajat peristiwa musik hingga menjadi sebuah pengetahuan yang abadi—dinikmati oleh berbagai generasi, lebih dari sekadar euforia dan caci-maki antar sesama yang mewarnai hari-hari kita saat ini.

Selamat jalan, Pak Suka. Sungkem dari saya.

//

Artikel ini telah dimuat sebelumnya di tirto.id (22 April 2018). Atas pemuatan artikel ini saya menghaturkan terimakasih kepada Mas Nuran Wibisono.

Nyanyian Bergaya Keroncong di Madah Bakti: Sebuah Apresiasi

Gagasan bahwa psikologi dan teologi memiliki banyak kemungkinan untuk terus direlasikan satu sama lain—seperti yang disampaikan Spilka & Bridges (1989) dalam Nelson (Psychology, Religion, and Spirituality, 2009: 28)—terdengar masuk akal dan menjadi titik berangkat konsep untuk penulisan artikel ini. Pandangan itu diinterpretasikan, bahwa teologi—melalui banyak representasinya—hendaknya mampu menyentuh jiwa dan mempertimbangkan kondisi alam batin-kultural manusia, selain didiseminasikan di ranah rasionalitas (melalui kuliah, ceramah, atau kotbah).

Inkulturasi melalui nyanyian rohani maupun liturgis, barangkali dapat dikatakan sebagai upaya artikulatif (relasional) untuk semakin mengukuhkan tercapainya makna-makna psikologis-teologia yang terus diperjuangkan sepanjang hayat. Bernyanyi, mendengarkan nyanyian, dengan demikian, merupakan spektrum tersendiri sebagai bagian dari aktualisasi kondisi jiwa seseorang untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan, selain melalui ilmu agama yang kita terima.

Saya jadi ingat ketika tahun lalu merayakan misa di Gereja Santo Antonius, Purbayan, Solo. Saya melagukan “Trimalah Ya Bapa” (MB 233) dan seketika menitikkan air mata, hanya karena satu frasa ini: “Trimalah syukur kami, atas sgala kurniamu; trimalah, ya, Bapa, trimalah”. Sementara jika kita membaca, misalnya 1 Tesalonika 5:18, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu”, kurang lebih memiliki makna yang sama, namun aktualisasi jiwa (hayatannya) kemungkinan akan berbeda ketika “rasa syukur” itu dinyanyikan. Hayatan adalah kondisi psikologis, dan ayat tersebut adalah elemen teologia. Kita tentu memiliki pengalaman berbeda dan beragam yang bisa dibagikan, tentang sebuah nyanyian yang mampu “hidup” di dalam jiwa kita.

Tentu saja sebuah lagu yang menyentuh jiwa, katakanlah itu lagu yang “bagus”, bukan hanya soal keindahan bahasanya (lirik). Ia meliputi banyak elemen yang saling melengkapi, salah satunya bagaimana melodi lagu disusun sedemikian rupa sehingga terasa klop dengan liriknya, dan mudah diingat. Meskipun pandangan ini terdengar subjektif, namun lagu yang “bagus” selalu memiliki sisi common sense. Misalnya lagu “Bapa Kami” yang hadir dalam berbagai versi. Ada lagu “Bapa Kami” yang sangat mengena dan mudah dinyanyikan, namun sejujurnya ada pula yang masih sulit diingat sampai saat ini.

Membahas mengenai lagu, lebih spesifik lagu liturgi, nama Paul Widyawan (alm.) tentu sudah tidak asing di telinga umat Katolik. Beliau bersama Romo Prier sejak 1970an telah mewacanakan dan mewujudkan kumpulan nyanyian liturgi yang khas Indonesia, tertuang di dalam buku Madah Bakti. Madah Bakti adalah sebuah buku doa dan nyanyian yang fenomenal serta telah menjadi klasik di dalam kehidupan ummat Katolik di Indonesia. Upaya inkulturasi yang tertuang melalui lagu-lagu Madah Bakti juga dapat dipandang sebagai manifestasi dari pergulatan psikis-teologia, yang disesuaikan dengan situasi kultural masyarakat Indonesia yang begitu jamak.

Uraian di atas hanyalah pengantar untuk menegaskan dan menjadi konsep, bahwa nyanyian dapat dibaca sebagai sebuah lingkaran yang memiliki dua bentangan gradasi, antara psikologi dan teologi. Selanjutnya, uraian ini akan lebih spesifik, yaitu sesuai tugas yang diberikan oleh Romo Prier kepada saya untuk memberikan catatan mengenai lagu-lagu bergaya keroncong karya Paul Widyawan yang tertuang di dalam Madah Bakti.

Dimensi lain keroncong

Nyanyian pujian maupun liturgi di dalam Madah Bakti yang dibubuhkan penanda sebagai nyanyian “gaya keroncong” merupakan dimensi lain dari keroncong yang umumnya kita kenal sebagai musik popular yang hidup di tengah masyarakat Indonesia. Nyanyian bergaya keroncong di dalam Madah Bakti tidak kita lihat sebagai bentuk musik dengan struktur konvensional layaknya keroncong asli “Moretsko” atau stambul “Baju Biru”. Mungkin lebih tepat dikatakan berbentuk “langgam”. Langgam di sini dimaksudkan sebagai bentuk lagu yang tidak terikat struktur tertentu, cenderung lebih fleksibel, dimaknai sebagai nyanyian yang dapat dilagukan dengan “irama keroncong”.

Apabila kita membaca sejarah keroncong, Jenderal Rudi Pirngadi (1960an) melalui Orkes Keroncong Tetap Segar telah memulai upaya pemosisian dan diseminasi keroncong sebagai sebuah konsep irama, di luar upaya Kusbini (sejak 1935, dan dekade 1950an melalui Bintang Radio) yang memposisikan keroncong sebagai konsep estetik yang tertuang pada bentuk, struktur, dan gaya menyanyi yang ketat (pakem). “Keroncong sebagai irama” tentu akan fleksibel, artinya hampir setiap lagu dapat “dikeroncongkan”, atau dibawakan melalui irama keroncong. Begitulah ringkasnya nyanyian bergaya keroncong yang terdapat di dalam Madah Bakti. Berikut ini daftar yang bisa kita simak:

Tampak di dalam daftar tersebut ada tiga jenis yang muncul: (1) Gaya Keroncong; (2) Misa Keroncong Slendro; (3) Misa Keroncong Diatonis. Dapat diinterpretasikan—dan ini tentu subjektif—bahwa gaya keroncong yang dimaksudkan adalah tidak pada peniruan bentuk, namun lebih mirip sebagai susunan melodi lagu yang bisa dilagukan selayaknya melagukan keroncong (dengan cengkok-cengkok tertentu), juga dapat diiringi dengan ansambel musik keroncong. Kemudian Misa Keroncong Diatonis adalah nyanyian liturgi yang bisa dipakai untuk peribadatan, bernada diatonis, yang diartikan memiliki 7 nada (1-2-3-4-5-6-7), beserta kromatisasinya. Lalu Misa Keroncong Slendro adalah nyanyian liturgi yang bisa dipakai untuk peribadatan, bernada pentatonik, yang diartikan memiliki 5 nada (1-2-3-5-6).

Nyanyian yang Ngroncongi dan Interpretasinya

Barangkali tidak semua nyanyian yang tercantum di dalam tabel dapat dikatakan ngroncongi, atau bernuansa keroncong meskipun disebut dengan “gaya keroncong”—atau bisa jadi nyanyian tersebut memang memerlukan interpretasi tertentu. Istilah ngroncongi (lihat pula penelitian Bayu Raditya, 2018), memang memiliki cukup banyak parameter. Selain pada kekhasan melodi lagu (beserta cengkok dan pembawaannya), teknik permainan, juga pada struktur progresi akor yang terbilang sederhana.

Jamak diketahui oleh kalangan pemusik keroncong, bahwa akor I, IV, V, dan II sangat lazim digunakan di dalam lagu-lagu keroncong asli, langgam, maupun stambul. Penggunaan akor di luar yang tersebut dapat menimbulkan kompleksitas tersendiri yang mampu mempengaruhi kualitas intensi dari ngroncongi itu. Yang juga menonjol dari parameter ngroncongi adalah bahwa suatu melodi lagu dapat langsung ter-asosiasi-kan dengan iringannya, artinya jika nyanyian tersebut diiringi ansambel keroncong (paling tidak dari tabuhan engkel cak-cuk-nya), langsung terasa ada common sense yang membawa kita pada suasana musik keroncong: mendayu, nggandhul,dengan tempo sedang.

Ada satu lagu yang terdengar sangat mirip dengan stambul (namun hanya pada frase-frase awal), yaitu “Daun-Daun Sabda” (MB 219), terutama karena susunan progresi akor dan nada-nada alterasi yang muncul di beberapa ruas. Nyanyian lain yang terdengar ngroncongi dapat disebut antara lain “Bawalah Persembahan” (MB 228), “Kemuliaan” (Misa Keroncong Diatonis, MB 201), “Tiada yang Lebih Indah” (MB 237), dan “Tuhan Kasihanilah Kami” (MB 186); beberapa nyanyian tersebut akornya sangat identik dengan langgam. Selebihnya, di luar nyanyian yang dicontohkan pada paragraf ini memang masih perlu dilakukan diskusi kembali dan menarik untuk dipelajari bagaimana nyanyian-nyanyian itu disusun sehingga disebut bergaya keroncong, dan bagaimana dampaknya pula bagi umat. Tentu saja kita bisa memiliki selera dan pandangan yang berlainan.

Pada dasarnya, jika kita kembali melihat dalam konteks “irama keroncong”, maka muncul asumsi bahwa hampir semua nyanyian sebetulnya dapat “dikeroncongkan”, namun untuk mencapai suasana ngroncongi itu bukan hal yang mudah begitu saja. Ada interpretasi yang kemudian bekerja untuk menguliti detail demi detail di dalam nyanyian tersebut—terlebih ketika dilakukan aransemen. Kecermatan pada detail dan pembawaan juga akan berpengaruh. Di dalam YouTube juga telah banyak video-video yang menampilkan aransemen keroncong dari Madah Bakti yang dapat kita dengarkan dan kaji bersama.

Penutup

Tidak dapat dipungkiri, jasa dari Bapak Paul Widyawan, khususnya dalam menciptakan nyanyian-nyanyian bergaya keroncong di Madah Bakti, adalah sumbangan besar yang patut diapresiasi. Menarik untuk dilakukan kajian-kajian lebih lanjut dari nyanyian lainnya, di luar yang tersebut di dalam tabel, dan mengaitkannya dengan keroncong. Tentu saja di luar nyanyian-nyanyian di Madah Bakti yang telah diidentifikasi “bergaya keroncong”, masih banyak nyanyian-nyanyian lain yang mungkin lebih identik dengan keroncong, lebih ngroncongi—ini juga membuka kemungkinan bagi perluasan eksplorasi khazanah aransemen maupun artistik, juga mempertebal irisan psikologis-teologia yang sangat bermakna bagi umat.

//

Contoh lagu-lagu dapat ditelusuri di beberapa akun YouTube: (1) “Madah Bakti DAMIAN”, (2) “Irawan Manik”, (3) “Puji Syukur”.

Artikel ini telah dimuat di Majalah Warta Musik Edisi 06/2023. Atas pemuatan artikel ini saya menghaturkan terimakasih kepada (alm.) Romo Karl Edmund Prier, SJ dan Mas Danan.

Refleksi Keroncong Indonesia Masa Kini

Dimulai dari Masa Lalu

Roep der Verten – Krontjong van Roots Naar Revival, ditulis Lutgard Mutsaers (2014), adalah judul sebuah buku setebal 559 halaman yang menarik dan padat informasi. Buku ini membicarakan sejarah keroncong di masa Hindia-Belanda dan momen-momen “kebangkitan” keroncong di Belanda semasa repatriasi, pasca kemerdekaan Indonesia.

Buku ini menyertakan, salah satunya, rekaman lagu Kaloe Tida Sababnja Boelan (dinyanyikan Mevrouw Knaap), produksi Odeon (1904), disamping 23 lagu keroncong lainnya dari berbagai kurun masa. Rekaman dari Odeon itu diklaim sebagai salah satu rekaman tertua dalam riwayat keroncong. Komedie Stanboel—sebagai teater populer zaman dulu—juga menjadi ikon primer dalam sejarah keroncong, tertulis pula kisahnya secara apik di buku itu. Tidak berlebihan jika keroncong di zaman Hindia-Belanda adalah musik paling digemari. Misalnya fakta tentang krontjong concours (lomba keroncong) yang mampu menjadi magnet bagi puluhan ribu orang di Pasar Malam, menciptakan superstar syndrome.

Selain bangsa Portugis yang mengenalkan cavaquinho (gitar kecil mirip ukulele/cuk) pada abad ke-16­, juga lagu-lagu ratapan-melankolik dengan akor sederhana yang disebut fado, kita memang musti memperhitungkan Hindia-Belanda—dengan banyak sekali momentum dan tokohnya—sebagai episentrum besar yang turut membentuk estetika musik keroncong yang terwariskan hingga kini.

Beruntung kemudian muncul Kusbini sebagai “oposan”, yang mengukuhkan keroncong khas Indonesia dengan sebutan Moretsko Indonesia. Kusbini menggubah lagu Kr. Moretsko (1935), yang sangat dikenal di kalangan penggemar keroncong sebagai “keroncong asli”. Philip Yampolsky (2010) menyebut bahwa kata “asli” setelah “keroncong” itu bukan bermakna sebagai otentisitas/orisinalitas/representasi ke-asli-an, namun hanya sebuah penanda/pembeda dengan bentuk lain seperti langgam atau langgam Jawa.

Melalui sentuhan karya dan ide-ide Kusbini, keroncong di Indonesia sebetulnya juga telah mengalami revivalisasi fase ke-sekian, setelah Portugis dan Hindia-Belanda. Kita tentu ingat dengan momen kompetisi Bintang Radio dekade 1950an, di mana “Sang Buaya Keroncong” ini juga mengarang lagu secara khusus untuk dilombakan di ajang itu. Muncul aturan ketat layaknya disiplin musik Barat untuk membawakan lagu keroncong, sehingga keroncong menjadi ber“pakem”—sarat teknik.

Tak hanya Kusbini, komunitas Toegoe di Jakarta juga menjadi “oposan” lain yang menciptakan “tafsir estetikanya” sendiri atas musik keroncong; juga Gesang, R. Maladi, Ismail Marzuki, Kelly Puspita, yang menawarkan ke-bersahaja-an dan tema kehidupan yang luas melalui lagu-lagunya; Jenderal Rudi Pirngadi (1960an) mengusung konsep “keroncong beat”—karena ia yakin bahwa “keroncong” itu hanya medium/alat musik saja, maka bebas untuk main lagu apa saja—ide “Sang Jenderal” ini tentu ditentang oleh kalangan “pakem”.

Partikel revivalisasi lain: Ki Nartosabdo mempertemukan keroncong dan gamelan sebagai “bibit unggul” lahirnya campur sari; Budiman BJ mengusung lagu-lagu patriotik; Andjar Any menelurkan banyak lagu langgam Jawa yang fenomenal; Radio Orkes Surakarta dan Orkes Bintang Surakarta dengan inovasi teknik dan tabuhan—memunculkan wacana identifikasi “keroncong gaya Solo-an”; Djaduk Ferianto melalui “Orkes Sinten Remen” yang khas mengemas keroncong berlirik parodikal-satire, hingga Bondan Fade2Black dengan Kroncong Protol; dan contoh lain yang bisa Anda tambahkan sendiri sebagai partikel-partikel revivalisasi keroncong di Indonesia dalam satu abad.

Masa Kini dan Sesudahnya

Penanda dari eksistensi keroncong, menurut saya, hanya ada dua. Pertama, keroncong tetap dimainkan dalam konteks romantisme (pelestarian), mengulang kembali lagu-lagu masa lalu; dan kedua, keroncong sebagai medium dan modal kreativitas untuk mengekspresikan karya-karya baru—dalam berbagai bentuk ansambel, tak terkecuali band.

Semua yang bersinggungan dengan romantisme masih sangat dianggap penting oleh pendukung musik keroncong; sementara di sisi lain, lagu-lagu baru yang diciptakan masih harus terus digenjot dan dipromosikan, karena kuantitas lagu baru keroncong yang berhasil “digoreng” (viral)—sejujurnya—bisa dikatakan masih sangat minim.

Paksiband, sebuah band keroncong dari Jogja yang berani menawarkan “keroncong konseptual” berbasis riset atas sastra Jawa (composing research-based) dengan menyuarakan isu-isu realisme sosial—dapat diamati sebagai salah satu temuan modal kreativitas yang menarik. Albumnya yang bertajuk “Panen Raya” ini juga bisa menjadi pemicu (trigger) bagi individu atau kelompok lainnya untuk makin meningkatkan produktivitas lagu-lagu baru keroncong yang dikonsep dengan sungguh-sungguh.  

Kos Atos, band keroncong dari Malang, baru-baru ini juga merilis album keenamnya, “Orkes is Dead”, masih dalam semangat urban yang khas. Itu juga bisa menjadi pemicu kemungkinan bentuk ekspresi masa kini lainnya. Belum lagi karya-karya dari Sir Iyai di Bandung, Keroncong Pemuda Kekinian di Salatiga, Sinten Remen dan Sri Redjeki di Jogja, hingga Stamboel Fajar di Belitung, dan lain-lain. Masing-masing bisa diamati sebagai fragmen-fragmen dari modal kreativitas yang beraneka bagi pertahanan eksistensi keroncong di luar romantisme.

Saat ini adalah momen yang (paling) pas untuk makin memecut produktivitas karya-karya baru keroncong, mempromosikannya, memikirkan daya saingnya (competitiveness), memikirkan strategi pemasaran dan kebudayaannya, warisan pengetahuannya. Skena keroncong saat ini masih belum surplus musisi padahal sedang banyak demand untuk dunia hiburan, regenerasi tentu masih sangat penting. Kuratorial atas event atau festival keroncong juga masih bisa dipertajam. Belum banyak pula filantropis, promotor, sponsor yang royal, padahal keroncong ini sebenarnya genre potensial. Catatan kritis pamungkas: Kita tak perlu lagi terbelenggu dengan pergunjingan klasik/modern, asli/tidak asli, pakem/tidak pakem, band/bukan band, dan beban sentimentil-emosional antar personal atau kelompok, karena semua itu justru akan menghancurkan masa depan keroncong. Terakhir banget:Mari berkarya dan berdebat ide kreatif saja!

//

Artikel ini telah dimuat di Harian Jawa Pos, 16 Juli 2023. Atas pemuatan artikel ini saya menghaturkan terimakasih kepada Mas Diar Candra dan Mas Paksi Raras Alit.

Tautan digital: https://www.jawapos.com/halte/011774946/refleksi-keroncong-indonesia-masa-kini

Wayang Kulit, Makna, dan Telinga

Dari kiri-kanan: Ki Sigid Ariyanto (Dalang), Dedek Wahyudi (Pengrawit, Komponis), dan Denny Kumoro Try Sasandy (Audio Engineer, Pengrawit)

Topik diskusi mengenai wayang kulit (pakeliran) dalam konteks cerita, gaya sajian dalang, iringan (gendhing-gendhing-nya),maupun pesan (tuntunan), relatif sering dibicarakan. Namun membahas pakeliran dalam konteks auditif—bagaimana pergelaran wayang kulit mampu “didengarkan” secara baik/tertata apik sistem pengeras suaranya—adalah topik yang jarang sekali dibahas. Beruntung, Taman Budaya Jawa Tengah beberapa hari lalu (21/06/23) mengadakan seminar dengan tema spesifik: “Audio dalam Pakeliran (Wayang Kulit)”.  

Tema tersebut berangkat dari adanya permasalahan mengenai sulitnya menemukan formula konseptual maupun teknis yang solid bagi pe-nata-an suara untuk pergelaran wayang kulit. Beda ruang pertunjukan akan beda spesifikasi perangkat tata suaranya (misalnya di Pendhapa, ruangan beton tertutup,maupun lapangan besar); Beda dalang juga beda treatment-nya; belum yang lain lagi: Beda audio engineer akan beda pula rumus-rumusnya.

Bagaimana pakeliran di masa kini—yang wajib menggunakan sistem pengeras suara—mampu tersaji apik, indah, serta jelas di telinga? Apa saja yang musti dipahami dan bagaimana merancang serta mengaplikasikan seluk-beluk teknis penataan suaranya? Dengan adanya sistem tata suara yang memadai, serta adanya pemahaman konsep dan teknis yang baik, diharapkan pesan-pesan di dalam cerita pakeliran (baik pesan verbal/ceritanya, maupun keindahan bunyinya), dapat menghasilkan makna-makna positif bagi masyarakat penikmat wayang.

Dihadirkan tiga narasumber yang kompeten untuk membahas topik tersebut: Ki Sigid Ariyanto (Dalang), Dedek Wahyudi (Pengrawit, Komponis), dan Denny Kumoro Try Sasandy (Audio Engineer, Pengrawit). Masing-masing narasumber umumnya bercerita tentang pengalaman subjektif mereka dalam menyajikan, menangani, maupun bekerja bersama dalang. Mengapa subjektif? Karena kajian-kajian akademik yang spesifik membahas masalah “audio dalam pakeliran” memang terhitung sangat langka. Ada beberapa substansi yang dapat diinformasikan terkait hasil diskusi seminar ini.

Konsep Tata Suara dalam Pakeliran

Tata suara di dalam pakeliran bukan lagi sekadar pelengkap atau pengeras, namun menjadi sebuah sistem (delivery mechanism)yang wajib pada masa kini. Tata suara di dalam pakeliran tentu sangat terkait dengan pemahaman menyeluruh mengenai ruang (akustik), sumber suara yang kompleks (baik dari dalang, sindhen, gerong, dan gamelan), dan teknis “menangkap suara dan mengirimkannya kembali” kepada audiens. Pemahaman menyeluruh (integrasi) dari berbagai elemen tersebut—yang kemudian menjadi konsep dan implementasi teknis itulah yang disebut sistem. Sehingga cara penanganan tata suara di dalam pakeliran tidak bersifat parsial (misalnya hanya fokus pada suara dalangnya saja).

Menarik yang disampaikan oleh Ki Sigid Ariyanto dalam presentasinya. Ia memberi pandangan bahwa salah satu keberhasilan penataan suara di dalam pakeliran bisa ditentukan oleh “selera seorang dalang”. Ia berkaca dari pengalamannya bertahun-tahun dalam mementaskan wayang kulit.

“Dalang punya ukuran berupa selera, bisa menentukan—misalnya: mana jenis/merk mikrofon yang pas untuk karakter suara dalang (yang tentu berbeda-beda), juga suara sindhen maupun gamelan; apa saja jenis/merk speaker yang dianggap layak dan tahan (berkualitas) untuk mementaskan wayang semalam suntuk? Itu semua dicari seiring pengalaman dan diputuskan sebagai pegangan,” ujarnya.

Apa yang diutarakan oleh Ki Sigid Ariyanto—menurut saya—bukan hanya soal selera, namun sebuah konsep. Dikatakan konsep karena ia telah melampaui pergumulan bertahun-tahun atas problem tata suara pakeliran yang dihadapinya bersama tim, dan lantas menemukan kerangka sistematik yang dapat diaplikasikan. Selera yang dimaknai dengan “logis”, tidak sebatas “suka” atau “tidak suka”—sangat berpotensi menjadi sebuah konsep, pegangan, bahkan prinsip.

Integrasi

Kadang-kadang pemahaman integratif tentang konsep tata suara ini kurang dihiraukan, tim penyaji pakeliran—khususnya sang dalang—cenderung pasrah saja kepada audio engineer (bahkan tidak tahu sejauh apa kemampuannya). Namun ketika hasil olahan audio pementasannya buruk, dengan akibat fatal: mbengung, tidak terdengar seimbang, bahkan tidak jelas, maka audio engineer menjadi bulan-bulanan amarah.

Kedua pihak, dalam hal ini tim penata suara dan penyaji pakeliran (dapat diwakili oleh dalang atau pemimpin gamelannya) membutuhkan komunikasi dan tukar-pemahaman yang cukup. Bahkan disarankan oleh narasumber Denny Kumoro Try Sasandy, seorang penata suara perlu pula untuk memahami garapan (gendhing) yang dibawakan dalam sajian—sangat baik jika penata suara juga merupakan penghayat sajian pakeliran.

Dedek Wahyudi juga memberi penegasan, bahwa penabuh gamelan dalam pakeliran sebaiknya juga memahami secara detail “siapa” dan “sejauh apa” penata suara mampu menangani sajian pakeliran yang terbilang kompleks ini. Bahkan ia memberi rekomendasi sejumlah nama yang dipandangnya kompeten.

Pakeliran merupakan seni pertunjukan yang menuntut kecerdasan telinga sebagai pintu masuk untuk menangkap makna-makna. Intensitas “beban dan pekerjaan telinga” audiens di dalam sajian pakeliran tergolong tinggi, khususnya jika pakeliran itu semalam suntuk. Dengan demikian telinga akan dengan mudah menolak jika ia menerima kebisingan (noise), dan suara-suara yang kurang jelas lainnya, karena makna/pesan yang disampaikan oleh dalang (dan integrasi lainnya) akan menjadi kabur pula.

//

Artikel ini telah dimuat di Harian Solo Pos, 26 Juni 2023 dengan judul yang sama. Saya menghaturkan terima kasih kepada Mas Ichwan Prasetyo atas pemuatan artikel ini.

Beberapa Indikasi Singkat Bahwa Musik Keroncong Memang Punya Potensi (Besar) untuk Menjadi Sumber Ilmu Pengetahuan

Di luar yang serba hiburan dan tren matra digital hari ini, musik keroncong masih punya potensi yang bweeeeeesar banget untuk digali pengetahuannya, entah itu terkait sejarah (tokoh, penyanyi, momen-momen penting), juga terkait pengetahuan seputar teknik bermain/bernyanyi, aransemen, garap komposisi, tata suara dan rekaman, artistik, organologi (acoustic, instrument craftsmanship), medan-medan digitalisasi dan penyebaran baru, manajemen event, hingga riset-riset mendalam yang berhubungan dengan proses kreatif para seniman (misalnya: bagaimana mengarang lagu yang “bermutu”, membangun komunitas di sebuah kota yang minim pendukung, metode ngajari anak-anak dan remaja kroncongan di komunitas dan sekolah, dan seterusnya).

Belum lagi uraian soal bagaimana Pemerintah turut serta bekerjasama mendukung musik keroncong—bukan semata demi eksistensi para seniman untuk pentas di panggung (yang cuma sesaat!) —melainkan bagaimana mempertajam musik keroncong sebagai nilai kebudayaan yang sangat berharga (selamanya) bagi Indonesia; juga bagaimana Pemerintah dan masyarakat sama-sama membangun pola kompetitif-sinergis yang berpotensi untuk mendukung stabilitas kesejahteraan di lingkup ekosistem musik keroncong. Kata “stabilitas kesejahteraan” menurut saya perlu digaris-bawahi sebagai pilihan diplomatis yang lebih lentur, ketimbang kata “peningkatan kesejahteraan” yang terasa masih klise.   

Tentu saja kita bersyukur atas jasa—salah satunya—Budiman BJ, yang mau secara sukarela menuliskan catatan sejarah, pengalaman, serta biografi singkat para tokoh keroncong melalui bukunya yang legendaris: Mengenal Keroncong dari Dekat (1979). Dari situ kita bisa mengetahui bahwa ada satu momen penting di mana pertama-kalinya kelompok-kelompok keroncong dari seluruh provinsi di Indonesia (kecuali Papua dan Irian Barat), berkumpul untuk berkompetisi. Itu bisa terwujud karena kolaborasi HAMKRI dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dewan Kesenian. Bukan kompetisinya yang penting, tetapi fakta itu menunjukkan bahwa musik keroncong sudah sejak cukup lama menyebar di berbagai penjuru Indonesia, lalu mereka (bisa) kumpul sama-sama di satu tempat.

Tak kurang dari 100 penelitian mengenai musik keroncong juga telah dilakukan, baik jurnal, skripsi, tesis master, hingga disertasi doktoral (dengan beragam topik dan sebaran wilayah penelitian). Fakta itu tentu saja menunjukkan bahwa musik keroncong memang diminati sebagai sumber ilmu pengetahuan.

Semua penelitian tersebut melengkapi apa yang telah ditulis sebelumnya oleh banyak peneliti lainnya (baik dari Indonesia maupun luar Indonesia) semenjak awal abad ke-20 hingga saat ini (sebut saja buku/tulisan-tulisan dari Manusama, Kusbini, Judith Becker, Philip Yampolsky, Harmunah, Haryadi Suadi, Victor Ganap, Triyono Bramantyo, Remy Sylado, Agoes Sriwidjadjadi, dan seterusnya).

Dengan demikian kita harus bangga bahwa semua itu adalah prestasi di bidang kebudayaan! Tak berlebihan juga rasanya jika keroncong itu disebut sebagai “peradaban” dengan kadar tertentu, tidak hanya sebuah genre atau bentuk musik. Musik keroncong adalah musik popular yang mampu teruji dalam kontinuitas produksi ilmu pengetahuannya; mengingat dalam 100 tahun terakhir perjalanan musik keroncong di Tanah Air—selain sebagai hiburan, juga tumbuh sebagai ilmu pengetahuan. Tanpa ilmu pengetahuan (dalam arti luas) yang terus dihidupi para seniman dan ekosistemnya, mustahil musik keroncong bertahan dan berkembang!

Sebagai penutup dari tulisan singkat ini saya ingin cerita dikit: Pada tahun 2008 silam saya pernah menulis untuk Majalah Seni Budaya “Gong”, meliput sebuah pentas keroncong dengan tajuk International Keroncong Festival yang diselenggarakan di kompleks Keraton Surakarta. Tulisan tersebut saya beri judul: BELAJAR OPTIMIS BERSAMA KERONCONG. Pengalaman menulis pentas itu sangat berkesan dan masih terus terngiang sampai hari ini, ya memang itu, yang kita butuhkan cuma itu: OPTIMIS! Bukan gosip-gosip yang (…………), isi saja sendiri…wkwk…hehehe…

ARSIP DJADUK DAN ARSIP KITA

(Catatan Pendek Sebelum Tidur) .

Khususnya kepada rekan-rekan saya seniman-seniman musik muda-muda dan produktif, atau siapa pun saja yang bersinggungan, ada baiknya untuk mulai “merancang biografi” kita sendiri sedari dini, atau minimal mengarsipkan pengalaman-karya menjadi dokumentasi yang mudah dilacak, bisa dipegang, tidak tergantung sinyal internet, serta terfolderisasi/tersimpan dengan struktur yang baik (baca: kronologis, atau jelas penanda item informasi/waktunya).

Saya ingin berbagi sedikit pengalaman. Ketika kami tahun lalu (2020) menulis biografi Djaduk Ferianto, kami takjub, karena kami menemukan sedikitnya 600 item kliping berupa liputan dan tulisan di media massa (sejak akhir 1960-an), ribuan foto, sekumpulan poster, booklet-booklet pertunjukan, dan arsip-arsip fisik lainnya. Tentu saja semua yang masih tersimpan dan terawat itu jadi sangat memudahkan kami untuk menelusuri informasi yang lebih detail selain informasi dari narasumber atau kerabat yang kami wawancara (ingatan sangat bisa meleset).

Di tengah gelombang informasi digital internet dengan kebiasaan unggah-unduh dan pengarsipan explorer yang mungkin serba random, sejujurnya kita makin sulit membaca jejak kekaryaan kita secara intim dan personal. Internet dan Media Sosial bisa menyelesaikan masalah di satu sisi sebagai penyimpanan global, tapi pengarsipan personal dalam bentuk fisik punya sifat lain. Kita juga tak bisa memastikan apakah website-website yang meliput kegiatan kita, juga akun-akun kita, bisa bertahan selamanya, tentu ada resiko yang mengikutinya: kena hack, bangkrut, lupa password, tidak bisa diakses, 404, dan “ancaman-ancaman” lain di luar prediksi kita.

Kami belajar banyak dari mendiang Djaduk soal perencanaan biografis sejak dini itu. Djaduk menyadari (sejak masih sangat muda), bahwa pengarsipan personal adalah sebuah kewajiban yang akan penting pada waktunya. Kini dalam berbagai bentuk pergeseran, kita bisa menemukan sendiri formula-formula pengarsipan yang pas untuk kita. Koran atau majalah fisik mungkin sudah tidak meliput kegiatan kita, tapi peluang-peluang lain pasti selalu ada.

Musik dan Kata: 2 Jenis “Makhluk” yang Enggak Pernah Bisa Akur

Sejauh menggeluti alam musik dan kata (bahasa) secara bersamaan, dan setelah kurenungi bertahun-tahun, dua makhluk itu: musik dan kata, memang tak pernah bisa akur. Sebab sejujurnya, musik terlalu sulit dibahasakan, terlalu sulit diterjemahkan begitu saja ke dalam kata-kata.

Ada contoh sederhana, ada seorang pengarang musik mengaku dapat ilham yang datang dari langit, lalu perasaannya mengalir begitu saja dan ia mampu membuat musik yang (dianggap) indah oleh banyak orang. Giliran mau diwawancarai untuk saya tulis, dan ketika ditanya tentang bagaimana prosesnya, ia cuma menjawab: “Saya tak tahu, itu sulit dijelaskan dengan kata-kata, coba kamu tafsirkan sendiri musik saya itu.” Giliran sudah saya tulis berdasarkan imajinasi, bekal pengetahuan dan pendengaran saya, si pengarang musik itu bilang: “Bukan, bukan begitu maksud saya!” Hmmm.. memusingkan! Dan itu, seperti kolom kecil di Harian Kedaulatan Rakyat, Sungguh-Sungguh Terjadi.

Maka saya penasaran dan mendorong si pengarang musik itu agar mau berbicara lebih gamblang, meskipun ia tampak kesulitan. Sampai akhirnya ia mengeluarkan satu kalimat panjang yang menurut saya cukup sulit dipahami, begini: “Saya menguasai teknik berkomposisi, tapi saya tak pernah bisa menguasai intuisi dan kejadian-kejadian lain di luar teknik-teknik yang kasat dan saya anggap mudah dipelajari itu. Saya juga tak pernah mampu menguasai bahasa untuk menjelaskan musik saya. Tapi saya bisa memaklumi, bahwa seribu kosa kata mungkin tak cukup untuk menjelaskan musik saya. Tapi jika ada satu kalimat saja yang Anda temukan dan ternyata itu tepat, itu akan menjadi satu-satunya.”

Okay. Saya ingin keadilan. Artinya, saya mau bagi porsi agar hak saya untuk mendapatkan informasi sebagai jurnalis bisa tercukupi. Saya mengejarnya lagi: “Lalu bagaimana cara menemukan kalimat yang tepat itu?” tanya saya. “Dengarkan musik saya seribu kali atau sampai Anda merasa bosan! Tantang diri Anda untuk tidak mengukurnya semata dengan rasa suka atau tidak suka, bukan juga dengan pesan di balik musik itu. Buatlah papan catur seluas-luasnya dan isi dengan ribuan kata-kata, pilihlah yang paling logis dan mewakili.”

Saya terhenyak. “Aneh sekali orang ini,” gumam saya.

Saya menyerah, pamit pulang, tapi diam-diam saya tetap mencoba mengikuti anjuran si pengarang musik itu. Mendengarkan musiknya berkali-kali sampai jenuh dan muntah, dan mencoba menemukan kata yang tepat untuk membahasakannya, sekuat tenaga dan pikiran.

Bulan berikutnya saya kembali lagi ke rumahnya untuk melaporkan apa yang saya alami. Tapi apa yang terjadi? Rumah itu telah kosong. Hanya ada sisa sebuah kursi roda, beberapa buku dan cd audio di perpustakaannya. Kata tetangga sebelah, ia telah meninggal dunia tiba-tiba karena serangan jantung; padahal saya sudah siap satu kalimat yang mungkin cocok untuknya, begini bunyinya: “Menikmati musik ini seperti menikmati pelangi yang muncul di tengah segala ambigu antara cahaya dan mendung. Ada terasa indahnya, namun juga sedikit kegelapan yang misteri. Ia melukis pelangi dengan penuh pemahaman tentang nirmana, susunan warnanya tampak tidak sembarangan. Namun ada yang aneh. Sayang musik ini terasa pendek, tak ada bagian klimaks atau terasa menggebu-gebu bergelora, tak ada bagian yang benar-benar memikat, meskipun menantang untuk terus diikuti dan tidak membuat bosan. Satu hal yang perlu dicatat, sepertinya kekuatan musik ini ada di bagian ritmenya, yang disusun secara kompleks, namun tetap terdengar sederhana dan mistis. Elemen-elemen lain hanya terasa sebagai pendukung, bahkan tak lebih dari sekadar kosmetik…”

Abdi Suara Catharina

Catharina bukan sekadar piawai menyanyi, tapi mendidik penuh dedikasi

(Tulisan ini adalah resensi saya atas buku Catharina W. Leimena Menyanyi Indah untuk Negeri yang ditulis Ninok Leksono, Buku Kompas, 2020. Resensi ini sebelumnya telah dimuat di kompas.id pada tanggal 25 Agustus 2021).

Kapal Tristino Oceania membawa Catharina ke Roma. Total 18 hari waktu tempuh di laut itu. Melewati Terusan Suez jam 2 dini hari, hingga akhirnya tiba di Pelabuhan Napoli. Catharina menjemput kenyataan dari mimpi yang diidamkannya sejak remaja: Belajar vokal di Italia.

Dikisahkan di buku ini sebuah momen di dekade 1950-an. Catharina terinspirasi film yang dibintangi Elizabeth Taylor. Film itu menggambarkan situasi belajar vokal di Konservatorium St. Cecilia di Roma. Gayung bersambut di tahun 1959, mimpi dan doa Cathrin terkabul. Prof. Priyono, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, menawarkan Cathrin beasiswa untuk belajar vokal di Italia.

Pengumuman resmi dari Kantor Berita Antara perihal keberangkatannya ke Italia bersama 9 penerima beasiswa lainnya, masih ia simpan rapi dan termuat pula di buku ini. “Itu memang sudah menjadi mimpi saya” (hal. 17, 20). Jadilah ia berlayar ke surga opera itu. Kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pun ia tinggalkan begitu saja.

Sosok yang Beruntung

Cathrin memang sosok beruntung. Ia puteri dari dr. Johannes Leimena, seorang menteri paling jujur di era Soekarno. Namun bukan karena karunia dari langit itu lantas Cathrin moncer begitu saja. Masa-masa awal perjuangan karirnya penuh pergolakan batin, ditambah situasi politik Indonesia 1960-an yang serba berkecamuk.

Setelah 6 tahun belajar dengan banyak maestro di Accademia Nazionale di Santa Cecilia, Roma, dilanjutkan ke Konservatorium Giuseppe Verdi di Milan, 1965 Cathrin lulus. Tahun 1966 Cathrin memutuskan menikah dengan dr. Anton Warsadi Wiriadinata yang sudah cukup lama dikenalnya.

Bisa dikatakan, momentum Cathrin belajar di Italia dan momentum menikah lalu merintis karir di Indonesia, adalah dua fase pertama perjalanan Cathrin sebagai abdi bangsa di dunia menyanyi seriosa dan opera. Cathrin mulai aktif menyanyi di beberapa kota, antara lain Bandung, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta. 1969 mendirikan Sanggar Susvara, yang kemudian berkembang menjadi Susvara Opera Company. Lambat laun fokus dan pilihan dedikasinya adalah di dunia pendidikan.

Cathrin terbukti berhasil melahirkan generasi penyanyi hebat, baik di bidang musik klasik (seriosa, opera), maupun di bidang musik populer. Avip Priatna, Aning Katamsi, Binu Sukaman, Joseph Kristanto, adalah beberapa contoh murid sukses yang tersebut di buku ini. Di skena musik populer, Krisdayanti dan Gita Gutawa adalah dua contoh muridnya yang berhasil. “Ibu Catharina bagi saya adalah maha-guru, bukan sekadar guru,” ujar Krisdayanti.

Bab VI buku ini (hal. 61) menjadi penekanan tersendiri karena isinya bisa diterapkan oleh siapa saja yang ingin menekuni dunia tarik suara. Cathrin menjelaskan soal Tessitura, yang artinya kurang lebih “jangkauan rata-rata sebuah lagu atau suara.” Pesannya kepada penyanyi yang belajar: agar menyadari kemampuan alaminya, “kembali ke alam”, namun juga mengembangkannya semaksimal mungkin, tanpa harus memaksakan batas kemampuan (hal. 64).

Abdi Suara Catharina

Buku 13 bab dengan total 216 halaman yang ditulis Ninok Leksono ini memiliki kekuatan naratif yang sangat baik untuk menjelaskan sosok Cathrin dari berbagai aspek, baik riwayat karir dalam bentangan yang luas, personalitas (sikap dan filosofi hidup), kesaksian tulus keluaga dan para sahabat.

Tak hanya itu, buku ini juga didukung referensi-referensi yang memadai dan kontekstual untuk menjelaskan seluk-beluk opera maupun seni vokal. Tak kurang 8 buku tentang Opera yang dijadikan rujukan oleh Ninok. Dengan demikian buku ini menjadi sangat informatif.

Di dalam buku ini kita juga bisa menyaksikan tak kurang dari 103 gambar-gambar bersejarah yang mempunyai nilai informasi tersendiri dan otentik, mulai dari potret keluarga, pengalaman pentas, poster-poster, dan menarik pula ada sebuah foto ketika Cathrin menari lenso bersama Bung Karno di Roma. Ah, semua itu masih tersimpan dengan baik, dan itu merupakan bukti bahwa Cathrin juga merupakan pengarsip yang baik.

Melewati puluhan tahun eksistensi (lebih dari 70 tahun semenjak aktif menyanyi), dengan berbagai gelombang yang dihadapi Cathrin, bukanlah perkara mudah. 1982, setelah 16 tahun menikah, suami Cathrin meninggal dunia, dan Cathrin harus membesarkan anak-anaknya seorang diri di tengah kesibukan Bandung-Jakarta untuk mengajar. Begitu pun ketika Cathrin terkena tumor dan musti menjalani operasi. Ia percaya mukjizat Tuhan. Ia teguh menjalani. Hadirnya buku ini pun, yang semestinya rilis untuk memperingati 80 tahun Cathrin, terpaksa harus ditunda karena banyak hal. Cathrin sabar menanti, dan akhirnya selesai juga.

Bayangkan saja, pada usia 84 tahun, Cathrin masih lantang berbagi ilmu secara daring di masa pandemi corona ini. Cathrin masih memiliki ingatan dan pendengaran yang teramat baik untuk seorang manusia yang telah melewati perjalanan panjang kehidupan, tidak lagi pahit dan manis, namun aneka rasa. Keluarga terdekat, kolega, murid, semua bangga dan sangat menghormati keteguhan musikal dan hidup seorang Catharina Leimena.   

Prof. Toeti Heraty Roosseno menyebut di buku ini bahwa Cathrin telah mencapai Live Time Achievement. “Ia melewati lebih dari kodrat rata-rata usia orang Indonesia perempuan, yang umumnya hanya mencapai 74 tahun,” ujarnya (hal. 160).

“Jangan berhenti di saya”

“Semoga semua terus bergairah. Jangan berhenti di saya. Semua harus menghasilkan penyanyi-penyanyi untuk masa mendatang,” pesan Cathrin yang tentu secara spesifik ditujukan pada pewaris-pewaris ilmu dan semangatnya membina seni vokal di Indonesia.

Buku ini, alangkah baiknya, juga dibaca oleh penyanyi-penyanyi muda, tidak hanya di lingkup musik klasik, seriosa, atau opera saja, namun juga (calon) penyanyi untuk semua jenis musik. Relevan, menurut saya, di tengah maraknya penyanyi-penyanyi instan zaman digital saat ini—di mana mereka kurang memedulikan teknik bernyanyi, bahkan menisbikan perjuangan kecuali ingin viral dan ingin uang—maka buku ini hadir sebagai penyeimbang yang membawa pesan cerah dan mulia.  Buku ini adalah alarm yang tajam untuk mengingatkan pentingnya martabat seorang penyanyi dijaga sekuat jiwa.

Mengurai Sisi Sainstifik Musik di dalam Ilmu Kontrapung

Buku ini memaparkan dengan lugas dan tangkas apa yang dibutuhkan mahasiswa musik, penata musik, komposer, serta peminat seluk-beluk keterampilan teoretika di dalam penyusunan musik melalui Ilmu Kontrapung. Pembelajaran Ilmu Kontrapung menunjukkan bahwa di dalam musik terdapat elemen-elemen sainstifik yang logis dan sistematik.   

Buku Ilmu Kontrapung rilisan Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta (2021).

Kilas Balik: Sebuah Kenangan

Ketika membaca lembar-lembar awal buku ini, saya jadi teringat pengalaman berharga yang saya alami pada tahun 2004, sekitar 17 tahun yang lalu. Ketika itu saya adalah mahasiswa S1 di ISI Yogyakarta dengan minat Musikologi.  Di dalam kurikulum perkuliahan musikologi, selain kami mempelajari sejarah dan kajian repertoar musik dari berbagai zaman—termasuk praktik musik klasik—kami juga diwajibkan mengambil mata kuliah Ilmu Kontrapung, dan pengampunya adalah Prof. Victor Ganap, salah satu kontributor buku ini.

Layaknya jatuh cinta pada pandangan pertama, mengikuti kuliah Ilmu Kontrapung langsung membuat saya terkesima. Pak Victor adalah dosen yang disiplin serta memiliki kemampuan transfer pengetahuan yang sangat baik. Saya makin tertarik. Saking tertariknya, saya pun mencatat dengan cermat dan detail setiap materi yang disampaikan oleh beliau (catatan tersebut masih saya simpan sampai sekarang). Sebagian dari isi buku ini juga merupakan materi yang disampaikan Pak Viktor waktu itu. 

Tapi saya menyesal, ketika berkuliah di ISI Yogyakarta, saya belum pernah merasakan pengalaman diampu oleh Romo Prier. Beliau sudah tidak mengajar lagi di sana. Namun saya tidak pernah kelewatan untuk mengoleksi karya-karya ilmiah yang ditulis Romo Prier. Saya hanya membayangkan, jika saya dipertemukan dengan Romo Prier waktu itu, mungkin pengetahuan saya tentang musik akan menjadi lebih lengkap, karena beliau—yang juga menjadi kontributor buku ini—adalah salah satu sosok idola yang berwawasan luas, berdedikasi tinggi, dan konsisten terhadap perkembangan ilmu pengetahuan musik, baik dalam konteks Gereja Katolik maupun di lingkungan akademik dan masyarakat.

Mengapa pengalaman 17 tahun silam tersebut begitu berharga bagi saya? Karena pada saat itulah pertama kalinya saya mengenal musik sebagai sebuah sains (ilmu pengetahuan yang logis dan sistematik, layaknya mempelajari matematika sebagai ilmu pasti), bukan hanya ekspresi seni yang subjektif saja.

Hubungan matematika dan musik memang sudah berlangsung sejak masa Yunani Kuno. Di dalam buku A Geometry of Music: Harmony and Counterpoint in The Extended Common Practice (Dmitri Tymoczko, 2011) disebutkan, bahwa di dalam rentang berbagai fase sejarah musik sejak dulu hingga kini, musik tidak bisa kita lepaskan dari matematika atau unsur-unsur yang logis (terdapat rumus-rumus yang absolut, dan unsur-unsur yang terukur, bahkan pasti), namun—tentu saja—fleksibel dalam ekspresi, untuk tetap mengikat musik sebagai sebuah seni. Apa yang kita mainkan hari ini—menurut buku tersebut—telah terjadi ratusan bahkan ribuan tahun silam, kita terus mengulang, memaknai kembali, namun dalam konteks maupun interpretasi yang terus berubah dan berkembang. Semua itu karena kita juga mewarisi kebudayaan musik sebagai sebuah fakta maupun ilmu yang dinamis.

Di dalam Ilmu Kontrapung ada peraturan-peraturan tertentu yang serba ketat dan kemungkinan bisa menghambat kebebasan berekspresi secara natural. Ilmu Kontrapung menuntut kita untuk disiplin, namun kita harus ingat pula bahwa di dalam ekspresi musik selalu ada tarik-ulur antara unsur-unsur intuitif maupun rasional, di mana keduanya selalu menantang dan menarik untuk diposisikan secara seimbang atau saling melengkapi.  

Tentang Buku ini

Buku ini terdiri dari tiga bagian besar, yaitu Ilmu Kontrapung Tonal (hal. 7-44), Ilmu Kontrapung Modal (hal. 45-114), dan Teknik Kontrapung Paul Widyawan (hal. 86-121). Bagian pertama ditulis oleh Victor Ganap, lalu bagian kedua dan ketiga ditulis oleh Romo Prier. Bagian pertama dan kedua mengetengahkan informasi (pelajaran berikut latihan) Ilmu Kontrapung sebagai salah satu disiplin teoretikal musik yang fungsional untuk keperluan penyusunan musik (baik aransemen maupun komposisi), dan bagian ketiga lebih memaparkan analisis atas teknik kontrapung yang dipakai Paul Widyawan.

Dijabarkan di buku ini dua pengertian mendasar tentang apa itu kontrapung: (1) Teknik komposisi musik polifon, di mana suatu lagu pokok (cantus firmus) dilengkapi dengan satu atau beberapa lagu yang secara melodis dan ritmis berdiri secara mandiri, namun tetap cocok satu dengan yang lain, hingga semua suara bersama-sama membentuk suatu komposisi; (2) Kontrapung adalah istilah “lagu pelengkap” untuk sebuah melodi yang sudah ada (disebut juga cantus firmus) dan disusun menurut peraturan-peraturan ilmu Kontrapung (hal. 45).  

Menurut sejarahnya, Kontrapung dalam Modus Gereja dipopulerkan oleh Giovanni Pierluigi da Palestrina (1525-1594) dari Italia pada periode Renaisans (Abad Ke-16), sedangkan kontrapung untuk instrumental diciptakan oleh Johann Sebastian Bach (1685-1750) dari Jerman, pada periode Barok (Abad ke-17). Kedua jenis kontrapung merupakan musik gaya Polifonik, di mana Kontrapung vokal menggunakan tangganada Gereja, sedangkan Kontrapung instrumental menggunakan tangganada Diatonik. Aabila Palestrina berhasil menciptakan Missa Papae Marcelli yang Eklesiatik sehingga Gereja Katolik Roma mengadaptasi musik Polifonik selain Monofonik, maka penemuan Bach telah melahirkan sistem diatonik yang terdiri dari 24 Tonal Mayor (12# + 12b) dan 24 Tonal Minor (12# + 12b) yang bisa kita dengar melalui 48 Prelude-Fugue dalam Das Wohltemperirte Clavier (hal. 7-8).

Pada bagian pertama buku ini diketengahkan materi pembelajaran yang berisi teknik-teknik kontrapung tonal, yaitu bagaimana menyusun Struktur Melodi Satu Berbanding Satu, Satu Berbanding Dua, Satu Berbanding Empat, serta dilengkapi penjelasan mengenai Komposisi Melodi Polifonik dan Komposisi Musik Polifonik dengan contoh karya Invention dari Ichiro Mononobe.

Bagian kedua terasa lebih luas namun berfokus pada penjelasan mengenai Ilmu Kontrapung Modal. Pada bagian kedua ini, di antaranya, diketengahkan mengenai Sistem Nada Musik Abad Pertengahan, Jenis-Jenis Interval Abad Pertengahan, Tangga Nada Modal/Gregorian, Lagu-Lagu Modal Barat, Sejarah Ilmu Kontrapung (hal. 45-50), diikuti dengan teknik menyusun kontrapung dalam dua suara (hal. 54-69) dengan contoh-contoh implementatif yang bisa langsung dipraktikkan.

Menarik sekali menyimak sub-bagian buku ini yang berjudul Penerapan Peraturan-Peraturan Ilmu Kontrapung pada Lagu Tradisional Indonesia (hal. 70), dan Cara Menangani Lirik dalam Kontrapung (hal. 101), disisipi pula di bagian ketiga analisis teknik kontrapung Paul Widyawan yang menjadi wawasan tersendiri. Beberapa sub-bagian tersebut membuka pengetahuan baru terkait aplikasi Ilmu Kontrapung yang lebih kontekstual dan terbuka, karena umumnya Ilmu Kontrapung bersumber dari sistematika musik Barat, dan lebih sering dipakai untuk menyusun musik-musik instrumental.  

Disiplin Ilmu Kontrapung memang sangat terikat dengan penguasaan atas keterampilan membaca dan menulis dalam notasi balok. Sebab itu memang dibutuhkan kemampuan tersebut terlebih dahulu sebelum mempelajari tiap materinya. Tidak mengherankan pula bahwa buku ini lebih banyak berisi contoh-contoh pelajaran yang diketengahkan ke dalam notasi balok, dengan didukung sedikit narasi (teks) demi memberi informasi dan memudahkan pemahaman.

Penutup

Kedua penulis buku ini, baik Victor Ganap maupun Romo Prier, adalah sosok yang tidak diragukan lagi keahliannya dalam disiplin Ilmu Kontrapung. Buku ini tentu saja sangat penting untuk memberi pemahaman mendasar namun komprehensif mengenai Ilmu Kontrapung khususnya yang berkembang pada kurun modus Gereja Katolik, Renaisans, dan Barok, dilengkapi juga teknik penyusunan kontrapung pentatonik yang merupakan khazanah tersendiri. Kiranya ke depan perlu ada juga buku-buku lanjutan yang mengetengahkan Ilmu Kontrapung Modern hingga pada perkembangan terkini.

Resensi ini telah dimuat di Majalah Warta Musik Edisi Juni 2021.

Tahun Produktif Rilisan Album Gitar Klasik-Akustik (2018-2020)

Mari sejenak kita meluangkan waktu untuk mengapresiasi karya-karya musik terkini di dunia pergitaran Indonesia, lebih tepatnya pergitaran instrumentalia jenis klasik dan akustik.

Dua istilah itu, (gitar) klasik dan (gitar) akustik, sebetulnya mempunyai pengertian yang agak saling-tubruk. Tapi gampangnya begini saja: gitar klasik untuk menyebut gitar yang bersenar nilon, dan gitar akustik adalah sebutan untuk gitar bersenar baja/kawat. Keduanya memiliki kesamaan, bisa berbunyi tanpa tenaga listrik dan punya area resonansi yang menjadi muara dari sumber bunyi yang dihasilkan oleh dawai yang disenggol atau badan gitar yang dipukul.

Cukup menggembirakan, karena sepanjang 2018 hingga 2020 tiap tahun nongol satu album yang mengetengahkan karya-karya instrumentalia untuk gitar solo dan ansambel. Kebetulan semua album itu mbrojol di Yogyakarta, meskipun gitarisnya berasal dari berbagai penjuru negeri.

Yang pertama adalah Album Kompilasi Volume 1 dari Kolektif Gitar Klasik Indonesia (Indonesian Classical Guitar Collective). Album ini dirilis pada 2008 dengan ditandai potong tumpeng dan doa di Ethnictro Music Education, Jogja. Isinya adalah rekaman-rekaman dari beberapa ansambel dan gitaris solo. Mereka adalah: Nocturnal Guitar Quartet, Duo Anantara, Duo Rocky, Nabita Guitar Duo, 9PM Guitar Duo, Ahmad Fauzi Ihsan, Putu Lia Veranika, dan Fauzi Akmal Rabbani. Umumnya mereka memainkan karya-karya lama dari berbagai komponis luar Indonesia, dan hanya satu karya dari komponis Indonesia.

Dengarkan album dari ICGC di sini.

**

Yang kedua adalah album GATRA, Nocturnal Guitar Quartet. Album yang dirilis pada akhir tahun 2019 ini sangat spesifik, karena secara khusus menampilkan karya-karya komponis dari Indonesia yang diminta menulis untuk karya dengan format kwartet, atau empat gitar. Kwartet yang digawangi oleh Vaizal Andrians, Gita Puspita Asri, Roby Handoyo, dan Adi Suprayogi ini pertama kali merilis album setelah lima tahun kiprah mereka. Tercatat NGQ menjuarai beberapa kompetisi ansambel gitar, antara lain di Italia, Jepang, dan Malaysia. Prestasi tersebut sangat membanggakan dan memberikan inspirasi tersendiri bagi rekan-rekan yang menggeluti ansambel gitar klasik.

Dengarkan album dari Nocturnal Guitar Quartet di sini.

Ulasan album GATRA bisa dibaca di sini.

Yang ketiga adalah album dari kolektif gitar fingerstyle (Indonesian Fingerstyle Guitar Community) yang rilis pada 17 Agustus 2020, persis di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Album ini mengusung ide—yang sekaligus dijadikan nama album—WE CREATED, NOT COPY PASTE. Memberi pesan kepada gitaris fingerstyle di seantero Indonesia agar mulai berani mengarang karya sendiri, bukan “ngover-ngover” atau copy-paste.

Album dari IFGC ini tidak didistribusikan secara digital, namun dijual fisik dalam konsep bundle dengan produk lainnya. Jadi silakan mengapresiasinya dengan menghubungi narahubung (klik di sini).

Selamat untuk semuanya!