Perjalanan Musikal Melbourne – 6 Desember 2016 adalah hari yang sangat saya nantikan. Pasalnya, pada hari itu saya akan mengunjungi sebuah kota sentral di Australia yang konon punya banyak cerita menarik: Melbourne!
Ya, meskipun kota ini sudah tidak asing lagi bagi banyak orang, namun cerita perjalanan ini mungkin baru bagi pembaca. Kunjungan ini bukan dalam rangka berwisata atau liburan, melainkan untuk mengikuti sebuah konfrensi musik yang membahas tentang sejarah gitar. Jadi tepatnya, ini adalah perjalanan musikal. Tentu saja, di sela-sela kegiatan serius yang saya ikuti ini, terasa tidak lengkap jika tidak mencuri waktu untuk jalan-jalan. Tepatnya berpetualang musikal sesuai dengan kegemaran saya.
Karena panitia tidak menyediakan dukungan finansial sepeserpun atas kegiatan ini, maka saya wajib berhemat ala backpacker. Alhasil, untuk keberangkatan, saya musti pindah pesawat empat kali, akal-akalan cari yang (paling) murah. Dari Yogyakarta ke Singapura via Jakarta, menunggu di Jakarta sekitar empat jam; dan selanjutnya Singapura ke Melbourne via Kuala Lumpur. Di Singapura saya menunggu sekitar enam jam.Total perjalanan berangkat beserta transit sekitar 24 jam! Terasa cukup melelahkan.
Akhirnya saya tiba di Bandara Tullamarine, Melbourne, pada 7 Desember pukul 21.30 waktu setempat dalam kondisi sangat kurang tidur selama perjalanantujuh jam dari Kuala Lumpur. Sempat melewati tiga kali pemeriksaan petugas imigrasi yang bertanya macam-macam kepada saya (tentang tiket PP, tujuan kedatangan, dimana tinggal, dsb). Tetapi, begitu mereka mengetahui bahwa saya akan menjadi salah-satu pembicara di konfrensi tersebut, mereka akhirnya meloloskan saya. Sangat maklum kalau petugas imigrasi pada rewel karena dalam perjalanan ini saya tidak declare apapun di kartu kedatangan, karena memang tidak membawa apa-apa yang menurut mereka wajib dilaporkan.
Di pintu keluar saya sudah dijemput oleh seorang kawanyang baru saja lulus Master dari kampusRMIT, Melbourne.Namanya Mbak Titis. Atas jasa baiknya saya diperbolehkan menginap dua malam di Elsternwick, di sebuah rumah nyaman belakang stasiun yang ia sewa selama studi di Melbourne. Perjalananan dari Bandara ke Elsternwick memakan waktu sekitar 45 menit dengan menggunakan Sky Bus ke Southern Cross Station,disambung dengan Grab Car, karena kereta sudah habis. Tiket Sky Bus untuk sekali jalan harganya 19 dollar Australia, atau sekitar 190ribu rupiah. Malam pertama saya lewati tanpa cerita apapun tentang Melbourne, kecuali merasakan hawa cukup dingin sekitar 12-14 derajat.
Menikmati jazz
Di sela-sela ngebut menyelesaikan slide presentasi, saya ditawari oleh mbak Titis untuk menikmati musik jazz di Uptown Jazz Cafe di Brunswick Street, Fitzroy. Di kawasan Fitzroy ini terkenal sebagai pusat gaul anak-anak muda yang mengikuti bermacam tren.Yang tampil malam itu adalah sebuah komunitas jazz anak muda dari Melbourne. Mereka membawakan karya-karya standar dan juga komposisi karangan mereka sendiri. Selain dengan mba Titis, saya juga ditemani oleh sahabat-sahabatnyayang berasal dari Jepang, Iran, Korea, dan Inggris. Jazz dan segelas wine malam itu adalah paduan yang begitu hangat dan akrab. Perjalanan dari Elsternwick ke Fitsroy ini ditempuh dengan menggunakan kereta yang transit di Flinders Street Station. Dari Flinders Street Station ke Fitsroy bisa ditempuh dengan berbagai moda transportasi,antara laintram, kereta yang berjalan bersama kendaraan bermotor di jalan raya.
Sekadar tips, jika ingin jalan-jalan di Australia dengan transportasi umum, kita perlu membeli tiket berupa kartu yang bisa diisi ulang. Konter pembelian tiket terdapat di tiap stasiun dan di area-area tertentu. Kartu itu bisa digunakan untuk naik kereta, tram, maupun bus. Karena transportasi di Australia tergolong tidak murah, juga tidak terlalu mahal, maka usahakan kantong kita cukup. Setidaknya dalam sehari kalau kita wara-wiri bisa menghabiskan sedikitnya 8 sampai 15 dollar. Selain itu, unduhlah aplikasi Public Transport Victoriadi ponsel pintar, maka segala urusan perjalanan menjadi mudah, karena di aplikasi tersebut ada panduan lengkap untuk berbagai tujuan perjalanan. Aplikasi ini harus dijalankan secara online.
Agenda yang saya ikuti di Melbourne akan berlangsung tiga hari penuh dari tanggal 9-11 Desember. Tempat konfrensi tersebut adalah di Melbourne Conservatorium of Music, yang terletak di Royal Parade, Parkville, tak jauh dari Queen Victoria Market yang sangat terkenal seperti Malioboro di Yogyakarta.
Konfrensi yang khusus membahas puncak perkembangan sejarah gitar antara tahun 1870-1945 ini tergolong konfrensi yang memiliki tema sangat spesifik, didukung oleh 41 pembicara dari berbagai negara, antara lain Australia, Inggris, Spanyol, Amerika, dan lain-lain. Saya adalah satu-satunya delegasi dari Indonesia yang berkesempatan berangkat atas inisiatif pribadi,karena paper yang saya ajukan berhasil lolos seleksi dan diperkenankan menyampaikan presentasi sekitar 30 menit.
Setelah dua malam saya menginap di Elsternwick, lalu di malam selanjutnya saya pindah ke sebuah penginapan murah di Jalan Elizabeth, pusat kota. Dari Elsternwick ke Elizabeth menggunakan kereta disambung tram.Saya menyewa sebuah dormitori dengan delapan bed yang sudah terbookingsebelum saya berangkat. Lagi-lagi ini akal-akalan supaya hemat, mengingat Melbourne termasuk kota dengan biaya hidup yang cukup mahal untuk ukuran orang Indonesia.Kalau tidak hati-hati dalam mengatur uang bisa-bisa kita jadi homeless (tuna wisma) untuk selama-lamanya.
Tiga hari yang serius
Tibalah saatnya hari konfrensi yang cukup membuat saya deg-degan, meskipun jadwal presentasi saya masih di hari terakhir dan di sesi terakhir. Dari hostel ke kampus perjalanan cukup ditempuh sekitar 5 menit menggunakan tram. Kalau niat, jalan kaki pun akan nyampai, hanya sekitar 20 menit tanpa belok.
Kampus Melbourne Conservatorium of Music ini sekompleks denganUniversity of Melbourne yang sebagian besar merupakan bangunan menawan warisan Inggris Abad ke-19. Gedung pertunjukan musiknya juga sangat indah dengan organ pipa yang bertengger megah di panggung. Akustiknya juga bagus untuk musik-musik klasik.
Saat itu adalah musim libur bagi mahasiswa konservatori, sehingga tidak ada aktivitas musik apapun seperti latihan atau kegiatan lainnya di sana. Tiga hari dikhususkan untuk penyelenggaraan konfrensi ini. Yang menarik adalah topik yang dibawakan oleh para pembicarasangat bervariasi. Saya sendiri membawakan topik mengenai hubungan antara gitar Portugis, Hawaii, dan Indonesia melalui musik kroncong. Tidak hanya konfrensi saja, di sela-sela waktu ada juga pertunjukan gitar yang menarik dan kunjungan ke museum komponis Percy Grainger. Dan pengalaman ini benar-benar membuat kepala saya penuh.
Pengamen jalanan berkelas
Selesai konfrensi saya menyempatkan jalan-jalan keliling ke beberapa titik untuk menyaksikan sajian musik para pengamen jalanan berkelas, antara lain di Flinders Street Station, Bourke Street, dan sekitaran Queen Victoria Market. Letak ketiganya cukup berdekatan.
Pengamen jalanan di Melbourne tidak seperti di Indonesia. Mereka mendapat ijin resmi dari pemerintah. Mereka tampil profesional di sudut-sudut jalan dengan membawa properti lengkap seperti speaker, amplifier, lengkap dengan buku lagu. Bahkan ada banyak pengamen yang sudah menerbitkan rekaman karya-karya mereka ke dalam bentuk CD Audio.
Ada beberapa tips kalau kita ingin jalan-jalan melihat para pengamen itu. Pertama, jika ingin betul-betul jadi penikmat, maka siapkan koin recehan untuk mengapresiasi mereka. Mungkin paling sedikit kita perlu 50 sen atau setengah dollar.Kedua, pengamen jalanan selalu menarik untuk dipotret karena suasana di sekitarnya. Bawalah kamera yang cukup oke untuk mengambil gambar. Ketiga, kita boleh requestlagu yang kita suka, asalkan mereka bisa memainkannya. Kalau kita request sebaiknya berilah mereka koin berlebih.
Setelah puas menikmati musik-musik menarik di tiap jalan, saya kemudian memutuskan untuk mengunjungi sebuah pabrik gitar terkenal bernama Maton di kawasan Box Hill. Bagi para expert guitarist tentu tahu brand ini.
Saya berangkat dari halte Queen Victoria Market. Perjalanan ke Box Hill Station ditempuh sekitar 39 menit. Jalurnya: Queen Victoria Market ke Flinders Street Station menggunakan tram nomor 59, dan dari Flinders Street Station ke Box Hill menggunakan kereta platform 3. Di tiap stasiun ada petunjuk berupa platformdengan nomor 1, 2, 3, dan seterusnya, tiap platform tentu beda tujuan. Ikuti saja.
Perjalanan menuju ke Maton belum selesai, karena dari Box Hill Station perlu disambung lagi dengan bus nomor 733, butuh sekitar 10 menit perjalanan untuk tiba di tujuan. Letak pabrik gitar Maton ini di Clarice Road. Turun di Middlebourgh dan kemudian jalan sedikit sekitar 400 meter. Maka tibalah saya di Maton.
Pada tahun 2016 Maton merayakan ulang-tahunnya ke-70 dengan ditandai penerbitan buku sejarah gitar Maton dan meluncurkan produk terbaru gitar Anniversary 70th. Saya sempat mencoba gitar yang harganya selangit itu dengan perasaan duka-lara karena belum mampu membelinya. Tapi saya sudah sangat senang bisa sampai ke sana.
Akhirnya tuntas sudah seminggu pengalaman saya di Melbourne.Menghabiskan budget sekitar 1600 AUD atau setara 16juta rupiah untuk semua keperluan termasuk tiket PP. Saya kembali dengan menggunakan jalur Melbourne-Denpasar dan Denpasar-Jogja, menginap semalam di Denpasar untuk sekadar istirahat.
Saya sangat menikmati perjalanan musikal ini, bisa mengikuti konfrensi mendapat banyak ilmu, menikmati jazz, menyaksikan pengamen jalanan, mengunjungi museum, dan mampir ke pabrik gitar terkenal.
TIPS:
- Perjalanan ke suatu tempat mengunjungi tempat bersejarah atau wisata biasa sudah menjadi hal yang sangat umum, tetapi perjalanan musikal masih sangat jarang yang menulis. Setiap negara pasti punya kebudayaan musik yang menarik.
- Di Melbourne cukup banyak tuna-daksa. Mereka tidak bisa pulang ke negaranya karena banyak alasan. Apabila kita punya dana lebih berilah mereka santunan untuk memperpanjang hidup mereka.
- Berhematlah untuk bisa menjangkau semua kebutuhan yang kita perlukan di Melbourne. Sekali lagi, Melbourne adalah kota urban dengan biaya hidup yang tinggi. Kalau tidak hati-hati celakalah kita.
*Artikel ini pernah dimuat di Koran Tempo, Februari 2017.
Foto: Erie Setiawan
Attachments area